JATIMPOS.CO/SURABAYA – Kota Surabaya membutuhkan sosok pemimpin baru yang dapat mengembalikan karakter asli Surabaya, demikian dikemukakan oleh pakar komunikasi politik Suko Widodo asal universitas Airlangga dalam serasehan yang digelar di hotel Leedon Jl. Jaksa Agung Suprapto no. 37 Surabaya, Minggu (31/3/2024).

Suko menceritakan ikwal landasan pemikiran di atas bermula ketika dirinya sedang berada di Malaysia, yang kebetulan saat itu diwawancarai awak media negeri jiran tersebut, “Mr. Suko, apa yang dilakukan anak muda Indonesia saat ini dalam rangka menuju 2045?” Suko pun tidak bisa memberikan jawaban yang gamblang dan tegas karena memang kenyataannya anak muda Indonesia sebenarnya tidaklah melakukan apa-apa alias tidak begitu mempedulikan hal-hal tersebut.

“Analogi dari pertanyaan yang menggelitik itu lantas saya renungkan dan membuat kesimpulan seperti kisah raksasa ponsel dari Finlandia (nokia) yang beberapa dekade silam merajai pasar gawai dunia, namun kini perusahaannya sudah bangkrut,” Suko menengarai bahwasanya Indonesia pun yang kini sempat digadang-gadang para ahli ekonomi dunia bakal bangkit menjadi negara maju dua dekade mendatang justru malahan bisa terjadi sebaliknya.

“Sama seperti nokia, jika Indonesia tidak siap, tidak mempersiapkan diri, tidak mentranformasikan diri dengan perubahan zaman, tidak pula berani mencoba mengutak-atik sistem kepemimpinan yang ada sekarang dengan cara memberikan sentuhan yang cerdas melalui nalar yang terkonsep dan terukur berdasar azaz Pancasila,” lanjut Suko.

Suko berandai bila nokia dengan segala kelebihan teknologinya pada masa jayanya bisa tidak berbekas sedikitpun pada saat ini, jangan pula menafikan kemungkinan Indonesia bakalan terpuruk jua jika tidak ada road map, tidak ada persiapan maupun perencanaan pada pucuk pimpinan tertinggi hingga para penjabatnya di daerah-daerah secara matang.

Untuk Surabaya pada khususnya Suko berani melontarkan kritiknya atas pola kepemimpinan saat ini yang cenderung stagnan, bola ekonomi masih jua belum menggelinding cepat melaju hingga pinggiran kota, bahkan ditengah kota pun ia masih acapkali melihat ketimpangan, kesenjangan dan keterpurukan ekonomi di tengah himpitan gedung-gedung pencakar langit.

“Maaf, tapi kata ‘hebat’ untuk kota ini belumlah layak disandangkan,” tegas Suko.

Sementara, anggota DPRD Jatim Hadi Dediyansah mengamini pendapat Suko Widodo, yang kemudian mencoba memberikan solusi atas persoalan ini. “Buta huruf bukanlah orang yang tidak bisa baca dan tulis, melainkan orang yang tidak bisa belajar,” ujar Hadi mencoba membuka wacana alam pikir.

Dalam serasehan menjelang berbuka di lantai 21 gedung Leedon, pria asli Surabaya yang tinggal di Jambangan ini menuturkan, bahwasanya ia kerap bertemu dengan para mahasiswa yang ketika beraudiensi masalah APBD, apa arti dan besarannya juga tidak dimengerti. “Ketika saya nanya sumber APBD Surabaya itu dari mana juga enggak bisa jawab,” lanjut Dedi, sapaan akrab Hadi Dediyansah.

Dedi menambahkan besaran APBD Surabaya yang mencapai 10 Triliun lebih sangatlah luar biasa. “Saya tau, Kalimantan saja APBDnya tidak ada yang segitu besar,” terang Dedi.

Ia membandingkan juga dengan APBD Jawa Timur yang Rp31 Triliun untuk 48 juta penduduk, dengan APBD Surabaya yang Rp10,8 Triliun untuk 3,5 juta penduduk, yang berarti harusnya masyarakatnya makmur, dari sisi pendidikan mestinya masyarakatnya juga tidak harus mengikuti program dari pusat yang mencanangkan 20 persen anggaran dialokasikan untuk pos pendidikan.

Dedi berpandangan jika toh APBD Surabaya benar-benar dialokasikan yang 20 persen itu untuk pendidikan, maka itu artinya semuanya serba gratis (SD-SMA)”, tandas politikus asal partai Gerindra tersebut.

Masih menurut Dedi, dirinya pun berkeyakinan sama dengan Suko, Surabaya pun juga membutuhkan sentuhan dari pemimpin baru. Ia tidak setuju dengan tagline ‘Surabaya maju-Surabaya hebat’, “Hebatnya apa, majunya dimana?” tanya Dedi kepada audience.

Pria kelahiran September 1971 ini melihat masyarakat Surabaya masih banyak yang masih tinggal di rumah kontrakan kecil, kos-kosan, dengan mata pencaharian yang tidak menentu, serta bayang-bayang pengangguran terselubung masih jamak ditemukan di berbagai sudut kampung.

Dalam serasehan yang dihadiri perwakilan mahasiswa dan awak media dari berbagai platform tersebut, Dedi menegaskan kembali komitmennya jika dirinya diberikan amanah menjadi pemimpin kelak, ia bakal membangun Surabaya menjadi lebih baik dan tanpa diskriminasi.

“Perhatian saya akan pembangunan kota akan disesuaikan dengan kelokalan karakter atau kearifan lokal baik itu Surabaya Utara, Surabaya Timur, Surabaya Barat, Surabaya Selatan maupun Surabaya pusat kota,” jelas Dedi.

Dedi lantas memberikan perhatiannya terhadap lansia di atas 70 tahun, di sana pemerintah harusnya hadir memberi subsidi makan gratis sehari 3 kali. Ibu-ibu sebagai kader jangan dikotak-kotakan dalam setiap pergantian pimpinan (pilwali).

“Kader lingkungan, PKH, PKK, elemen penggerak dan lain sebagainya harus menjadi satu dalam organ fungsional pemerintah dan di luar kepentingan politik,” pungkas Dedi. (fred).