Oleh: Surya Aka (Wartawan senior, alumni Jawa Pos )

JANJI Dahkan Iskan akan menerbitkan Harian Di'sWay 4 Juli 2020 tercapai. Pastilah itu soal sepele bagi Raja Koran di Indonesia ini. Tapi walau disebut Raja Koran, sangat banyak kejutan sekaligus kontroversinya.

Saya mencatat sedikitnya ada 8 kejutan. Jumlah angka yang disukai Pak Dahlan.

Pertama, terbit telat. Umumnya koran pagi tiba di pembaca pukul 06.00. Tapi edisi pertama dan kedua Di"sWay selesai cetak pukul. 09.00. Tanpa ragu Dahlanpun menulis jujur di artikel Disway edisi web/aplilasi dg judul Terbit Telat

Dulu 30 tahun lalu, ketika Dahlan mulai membangun JawaPos dengan oplah hanya se becak, betapa marahnya kalau sampai koran telat. Hukuman buat karyawan bisa dipecat, dimutasi atau disekolahkan. Tapi sekarang, koran telat, eh salah. Harian telat, malah diberitakan.

Kedua, mau terbit, mesin baru dipasang. Memang ini mesin baru. Jenis dan ukuran kertas nya pun tidak lumrah sebagai kertas harian cetak.
Tapi, mengapa baru didatangkan dan dipasang saat harian mau terbit perdana?
Logika awam, bila mesin belum siap maka launching mestinya ditunda. Tapi Dahlan kali ini style santai. Kira2 teori apa yang bisa membenarkan kenyataan ini?

Ketiga. Ukuran harian ini majalah, tapi terbit harian Sampai kini, belum ada majalah terbit tiap hari. Disini kejutan Di'sway. Ukuran kertas ini, kelebihannya dibacanya mudah. Membuka dan membacanya mudah. Kalau di tempat umum tidak ganggu teman duduk.

Keempat. Kertas sehalus kulit bayi.
Sebenarnya Art Paper ini ada di pasaran. Tapi yang jadi kejutan digunakan buat majalah harian. Kalau cetak 48 halaman dan dengan oplah 5.000 eksemplar, konon harga per bijinya Rp 12.000. Lalu dijual berapa? Dibanderol Rp 10.000 saja masih rugi, apalagi hanya dijual Rp 6.000. Menjual produk rugi, bisa dibenarkan asalkan iklannya besar.

Ke Lima, Launching super sederhana.
Sebagai raja dan tokoh berpengaruh memproduksi brand pastinya perlu diketahui khalayak. Tapi yang mengejutkan. Kesederhanaan itu ditunjang tidak diundangnya tokoh2. Tak ada gubernur, walikota, pimpinan organisasi, politisi dan pengusaha pun hanya tertentu, Tak ada media lain, tak ada liputan televisi. Hanya awak DisWay. Apakah Dahlan tidak punya anggaran? Pasti bukan itu jawabnya. Dahlan dan tim Disway yang direkrut dari redaktur sangat berpengalaman nasional dan internasional bidang entertainment. Mirip sebuah kerja merangkak dari bawah. Tak penting gengsi, tak penting pencitraan. Image hanya akan tiba ketika produknya sudah layak dibutuhkan. Kira kira begitu.

Keenam, Saham Disway 98% diberikan karyawan! Aneh memang. Walau Dahlan pendiri, tapi dia hanya mau diberi saham 2%, padahal dialah yang menjamin biaya penerbitan ini. ''Persediaan saya untuk makan, insya Allah cukup sampai 20 tahun mendatang, Maka saya relakan untuk mengabdi kepada jurnalistik,'' kata Dahlan. Benar-benar membalikkan logika.

Ketujuh. Disway Melawan arus. Ekonomi lagi parah, terdampak Covid19. Sementara sejak 10 tahun terakhir media cetak diprediksi bakal menemui ajal termakan industri digital. Justru DisWay terbit.edisi cetak. Keyakinan apa untuk membangkitkan pembaca?

Kedelapan. Belum punya wartawan. Sampai hari keempat terbit, isi Disway masih belum seru. Belum ada laporan dari Jakarta. Belum punya wartawan di Sekneg, Istana Negara apalagi di luar negeri. Padahal melihat materi Disway terlihat bidikannya kelas ekonomi A dan B. Sedikit C dan D. Kelemahan ini, bukan Dahlan tidak tau, tapi kelihatannya disengaja. Dahlan mengatakan Disway berjalan ibarat lari marathon. Maka, perjalanan yang panjang tidak perlu dihabiskan energi di awal start.

Apapun, kalau ambisi Pak Dahlan untuk menegakkan kembali nilai2 keunggulan jurnalistik. Walau habis banyak kerugian, tetaplah perjuangan yang mulia. Kalihatannya, harian Disway memang media amal dan pengabdian bagi seorang Dahlan. Soal apakah nanti bisa memperoleh keuntungan finansial atau tidak, kayaknya tidak menjadi hal utama bagi Pak Dahlan. Selamat membaca Di"sWay.***