JATIMPOS.CO/KOTA MADIUN – Pandemi Virus Corona atau Covid - 19 yang tengah mewabah di Indonesia menghantam seluruh aspek kehidupan masyarakat. Terutama, di sektor ekonomi. Tak sedikit warga yang pendapatannya turun, bahkan sampai kehilangan pekerjaan akibat pandemi Covid - 19 tersebut.
Tak ingin larut dalam keterpurukan, sejumlah warga di Jalan Jati Kembar Gang Buntu, Kelurahan Taman, Kecamatan Taman, Kota Madiun berkreasi untuk menambah pemasukan. Yakni, dengan membuat face shield atau pelindung muka.
Face shield yang biasa digunakan oleh tenaga medis saat menangani pasien Covid - 19 ini dibuat dengan bahan-bahan sederhana. Seperti, mika tebal, mika transparan, dan karet elastis. Pelindung muka yang dibuat secara gotong-royong oleh warga RT 13 RW 5 itu juga bisa dicuci dan digunakan kembali.
Sutrisno, salah seorang perajin face shield menuturkan, proses pembuatan 1 unit pelindung muka itu tak membutuhkan waktu lama. Namun, diperlukan ketelitian agar presisi dan bahan tidak rusak. ‘’Sebelumnya, kami trial and error dulu sebelum menemukan ukuran yang tepat,’’ ungkapnya.
Pria yang sehari-hari berprofesi sebagai driver ojek online tersebut mengaku mendapatkan ide membuat face shield dari tetangganya yang bekerja di Dinas Kesehatan dan KB Kota Madiun, yaitu Utomo. Kepada Sutrisno, Utomo memperlihatkan face shield yang dimilikinya. Namun, alat pelindung itu mempunyai kelemahan yakni hanya sekali pakai.
Mereka lantas mencari ide untuk membuat face shield yang bisa digunakan berulang-ulang dan lebih nyaman dipakai. Akhirnya, tercipta face shield model kreasi mereka sendiri yang lebih sesuai dengan kebutuhan sehari-hari.
Meski baru diproduksi selama empat hari terakhir, alat pelindung wajah yang dipasarkan melalui online itu sudah ramai peminat. Tak hanya dari Kota Madiun saja. Pemesan juga berasal dari wilayah Magetan, Ngawi, hingga Ponorogo. Baik instansi maupun perorangan.
Untuk satu unit face shield dibanderol dengan harga Rp 20 ribu. Namun, yang Rp 5 ribu mereka sisihkan untuk donasi masker kain. Sedangkan, sisanya dikumpulkan untuk membiayai produksi. Seperti, membeli bahan dan konsumsi para perajin. Keuntungannya pun dibagi kepada semua perajin.
Sutrisno mengatakan, hasil keuntungan penjualan face shield cukup membantu menutup kebutuhan sehari-hari. Apalagi, pada kondisi seperti saat ini. Dia mengaku pendapatannya turun hingga 60-70 persen dari ojek online selama masa darurat Covid-19. Padahal jika hari biasa dia mampu tutup poin dalam waktu singkat.
Bapak satu anak itu juga berharap, kondisi Covid-19 ini cepat berlalu. Sehingga, seluruh aspek kehidupan masyarakat bisa pulih kembali. Serta, masyarakat dapat mencari nafkah seperti biasanya. Dia juga berpesan kepada orang-orang yang bernasib sama dengannya untuk tidak putus asa.
‘’Apa yang bisa dikerjakan, kita kerjakan. Kalau hanya diam, tidak akan menghasilkan apa-apa,’’ katanya.
Dia juga menjelaskan bahwa donasi masker kain digunakan untuk menggerakkan penjahit di sekitarnya. Kemudian, hasil maskernya dibagikan kepada masyarakat umum yang membutuhkan.
Salah seorang produsen sambel pecel di Kota Madiun beralih profesi menjadi jamu tradisional yang dikemas dalam bentuk bubuk instan. (Foto Diskominfo).
--------------------------------------------
Hal serupa juga dilakukan oleh pelaku Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) di Kota Madiun, Dyah Retno Satwo Rini. Perempuan yang tinggal di Jalan Kenongo 8A Kota Madiun tersebut beralih dari produsen sambel pecel menjadi jamu tradisional. Namun, bukan dalam bentuk cair seperti biasanya. Dyah mengemas jamunya dalam bentuk bubuk instan.
‘’Awalnya memproduksi karena ada permintaan teman dari Tiongkok. Lalu, saya coba buatkan model bubuk agar mudah dalam proses pengiriman,’’ tuturnya.
Jamu yang dipesan inipun lebih spesifik. Tidak hanya terdiri dari satu atau dua bahan saja. Melainkan, enam bahan sekaligus. Yakni, temulawak, kunyit, serai, kayu manis, jahe, dan gula. Bahan-bahan ini dipercaya mampu meningkatkan daya tahan tubuh dan menangkal Virus Corona karena mengandung Curcuma.
Lebih lanjut, Dyah mengatakan, produksi jamu bubuk ini sebenarnya bukan pertama kalinya dia lakukan. Sekitar dua tahun lalu, dia pernah membuat dan memasarkan produk tersebut. Namun, rupanya kurang diminati. Sehingga, dia beralih ke produk lainnya yang bisa dia buat.
‘’Tapi jamu tetap saya buat. Minimal untuk konsumsi sendiri karena anak saya sering sariawan. Atau, memenuhi permintaan saudara dan kolega,’’ jelasnya.
Resep jamu bubuk ini dia dapatkan sejak 2004. Kala itu, Dyah memiliki asisten rumah tangga yang mengajarinya proses pembuatan jamu bubuk. Resep ini rupanya bermanfaat di masa sekarang. Selain memudahkan dalam proses pengiriman antar pulau, juga dapat bertahan lebih lama dibandingkan jamu cair.
Meski begitu, Dyah mengaku kesulitan mendapatkan bahan-bahan dasar pembuatan jamu. Apalagi, harga empon-empon di pasaran terus merangkak naik. Kunyit, misalnya. Semula harganya Rp 7.500 kini mencapai Rp 40 ribu. Apalagi, jahe yang naik 2 kali lipat menjadi Rp 70 ribu.
‘’Harga jamu saya juga ikut naik. Tapi, saya tidak berani menaikkan terlalu tinggi,’’ ungkapnya.
Dia juga menjelaskan bahwa jamu bubuk yang dia jual berkisar antara Rp 30 ribu – 35 ribu untuk kemasan 100 gram.
Perancang busana asal Kota Madiun terus berkreasi menghasilkan produk berdaya jual di masa pandemi Covid-19. (Foto Diskominfo).
--------------------------------------------
Upaya bertahan di tengah pandemi Covid-19 juga ditempuh oleh Andarwati Ning Susanti. Perancang busana asal Kota Madiun ini terus berkreasi untuk menghasilkan produk berdaya jual. Khususnya, selama masa pandemi Virus Corona saat ini. Salah satunya, dengan memproduksi masker manja.
Tak seperti masker kain lainnya, masker manja menawarkan penampilan yang lebih cantik bagi penggunanya. Hal itu tak lain karena masker tersebut dilengkapi dengan hiasan seperti brokat dan payet yang menarik perhatian.
‘’Karena bentuknya yang cantik, banyak pelanggan yang tertarik untuk dijadikan aksesoris tambahan untuk dipakai sehari-hari atau ketika Lebaran nanti,’’ tutur perempuan yang akrab disapa Santi itu saat ditemui di rumahnya.
Santi mengungkapkan, ide membuat masker manja didapatnya dari media sosial. Sepinya permintaan menjahit baju selama masa pandemi mengakibatkan 13 karyawan Santi pun menganggur dan tak memiliki pemasukan. Karena itu, dia memberdayakan mereka untuk membuat masker manja.
Untuk mendapatkannya, pembeli tidak perlu merogoh kocek terlalu dalam. Karena, istri Didiet Sulistyono itu hanya mematok harga Rp 20 ribu – 35 ribu saja per potong untuk masker bordir dan masker manja.
‘’Karena bahan di sini sudah tersedia semua. Mulai kain hingga aksesoris. Sehingga, dijual dengan harga yang relatif murah,’’ ungkap pengelola rumah mode Trisanti itu.
Dalam sehari, Santi mampu memproduksi 100 kain masker dan 30 masker manja. Proses produksi tidak hanya dilakukan di galeri. Tapi juga bisa dibawa pulang ke rumah masing-masing penjahit. Sehingga, tidak perlu bergerombol di dalam galeri.
Hingga saat ini, Santi mampu menjual 100 – 120 masker per pekan. Tidak hanya warga Kota Madiun, pembeli juga berasal dari berbagai daerah. Seperti, Nganjuk, Surabaya, hingga Malang.
‘’Untuk sementara, proses penjualannya lewat online. Ke depan, rencananya akan merancang desain yang lebih bagus lagi tapi tetap elegan dan nyaman digunakan,’’ tandasnya. (Adv/kmf).