JATIMPOS.CO/SURABAYA – Harga minyak goreng yang tiba-tiba naik membuat masyarakat kelimpungan. Kebijakan pemerintah dalam hal ini Kementerian Perdagangan (Kemendag) menerapkan minyak goreng satu harga Rp14.000 per liter, kenyataannya di lapangan tidak berjalan efektif.

Penerapan Harga Eceran Tertinggi (HET) minyak goreng sebesar Rp14.000 justru  berakibat pada kelangkaan. Tentu saja, karena para pengecer memperoleh minyak goreng dengan harga lebih tinggi dari HET. Tidak fair jika pengecer dipaksa menjual dengan harga tersebut.

Menanggapi kelangkaan minyak moreng tersebut, pakar ekonomi Universitas Airlangga Dr. Imron Mawardi, S.P., M.Si, menjelaskan bahwa yang dibutuhkan masyarakat saat ini adalah kepastian dari pemerintah bahwa pasokan minyak ini aman.

“Terpenuhinya kebutuhan rumah tangga maupun usaha industri yang bergantung pada minyak goreng,” kata Imron, dalam seminar nasional dengan tema "Peran Pemerintah dan Dunia Usaha Dalam Stabilisasi Harga Minyak Goreng", Rabu (9/2).

Acara seminar ini digelar dalam rangkaian Hari Pers Nasional 2020 yang digelar PWI Jatim di Jl. Taman Apsari 15 – 17 Surabaya.

Bagi Imron, untuk kebutuhan rumah tangga, maupun usaha baik kecil atau besar, yang penting adalah adanya pasokan meskipun harga agak mahal daripada harga murah tapi pasokan tidak ada sama sekali.

Ia menegaskan bahwa pemerintah harus menginvestigasi apa yang menjadi penghambat distribusi ini. Pemerintah diminta untuk mencari tahu, apakah pasokan ini terhambat di masalah prinsipal (pabrik) atau “hilang” saat distribusi.

Sebelumnya, Ketua Umum PWI Jawa Timur Lutfil Hakim dalam sambutannya berharap pers untuk menjadi penengah antara masyarakat yang terdampak oleh kenaikan harga minyak goreng ini dengan sejumlah pihak khususnya pemerintah sebagai regulator, GAPKI, GIMNI, dan para pelaku usaha minyak nabati di Indonesia.

Togar Sitanggang selaku Waketum III GAPKI dalam kesempatan itu, meminta pemerintah untuk mengawasi jalur distribusi yang menurutnya menjadi salah satu penyebab utama kelangkaan minyak goreng di berbagai wilayah di Indonesia.

“GAPKI sendiri sudah berusaha sebaik mungkin untuk mengisi kekosongan yang terjadi di daerah-daerah, salah satunya di Surabaya. Minyak kami dapat masyarakat jumpai di salah satu supermarket yang ada di Tunjungan Plaza Surabaya dengan harga yang normal” paparnya.

Senada dengan Togar, Direktur Eksekutif GIMNI Sahat Sinaga menyatakan bahwa permasalahan distribusi ini menjadi momok bagi pelaku dan juga masyarakat.

“Untuk minyak dengan kemasan sederhana harga Rp 14.000, Pemerintah harus pastikan bahwa distribusinya lancar. Kita pastikan itu dulu, untuk minyak goreng premium jika dilepas dengan harga tinggi menurut saya tidak masalah” ujar Sahat.

Sementara itu, I Gusti Ketut Astawa, S.Sos., M.M., Sekretaris Direktorat Jenderal Perdagangan Dalam Negeri selaku perwakilan dari pemerintah dalam kesempatan itu, menyampaikan bahwa pemerintah akan segera mengkaji regulasi Domestic Market Obligation (DMO) dan Domestic Price Obligation (DPO) serta distribusinya. Ia menduga akibat perubahan regulasi ini yang menjadi penyebab dari melambungnya harga minyak goreng di pasar nasional.

Kementerian Perdagangan juga akan terus mengupayakan cara untuk memenuhi pasokan minyak goreng domestik, sambil menentukan langkah terbaik untuk membuat kebijakan yang nantinya akan berpihak untuk seluruh lapisan masyarakat Indonesia.

“Dari hasil seminar ini, Kementerian Perdagangan akan mencatat semua masukan yang telah diutarakan oleh asosiasi mewakili masyarakat dan pengusaha untuk nantinya dijadikan bahan untuk merumuskan kebijakan yang akan menguntungkan semua pihak” tutup I Gusti Ketut Astawa. (yus)