JATIMPOS.CO//SURABAYA - Universitas 17 Agustus (Untag) Surabaya menggelar Program Pengabdian Masyarakat bertajuk Edukasi Jurnalisme Empati dalam Perspektif Gender dengan menggandeng Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Jawa Timur, Jum’at (09/09/22).

Wahyu Kuncoro selaku Ketua Penyelenggara acara menyampaikan bahwa acara ini merupakan kontribusi nyata dalam peningkatan kulaitas budaya wartawan.

“ Acara ini merupakan perintah ketua, yang mana pada setiap kesempatan anggota PWI harus terus belajar, hal ini sebagai wujud kontribusi nyata dalam peningkatan kualitas budaya wartawan. Wartawan Harus mengerti sampai mana perspektif gender harus diterapkan. Jangan sampai salah menulis dan mempengaruhi kesetaraan gender,” ujar Wahyu Kuncoro di Aula PWI Jatim.

Wahyu menjelaskan tugas media adalah menjadi penulis yang baik dan juga pembaca yang baik dan hal tersebut bersifat mutlak. Forum seperti ini adalah upaya untuk belajar bersama terutama pada masalah masalah yang terkait dengan gender.

Senada dengan hal tersebut, Machmud Suhermono Wakil Ketua PWI Jatim memaparkan bahwa sekarang ini persoalan gender menjadi lebih kompleks. Karena sekarang ini media ataupun jurnalis bukan menjadi satu-satunya pemasok informasi karena adanya media sosial.

“ Contoh misalkan menulis perempuan bukan karena prestasinya melainkan sensualitasnya kecantikannya, persoalan semacam inilah yang bagaimana kemudian bukan empati pada perempuan tapi persoalan asusila. Kita (wartawan) ada undang undang yang mengatur bahwa tidak diperbolehkan menampilkan nama, tapi sedangkan di medsos diumbar. Hal ini menjadi problem baru karena pemasok informasi kepada masyarakat bukan hanya dari jurnalis lagi,” papar Machmud yang bertindak sebagai moderator.

Dalam kesempatan tersebut hadir 2 narasumber yakni Dr. Merry Frida Palupi, Dosen Universitas 17 Agustus Surabaya dan Lutfi Hakim, Ketua PWI Jatim. Merry mengapresiasi hadirnya para undangan dan wartawan laki-laki yang turut serta hadir dalam kesempatan ini.

“ Menurut saya feminitas tidak hanya dimiliki oleh perempuan yang dalam konteks bahasan ini adalah wartawati tapi juga dimiliki oleh para laki-laki yang juga peduli dengan perspektif gender dengan hadir ditengah kita hari ini,” ungkapnya.

Lebih lanjut, Dosen Untag tersebut merasa bahwa tidak selalu perempuan itu yang menjadi korban pelecehan adalah perempuan yang berpakaian sexy. Nyatanya wanita yang berpakaian tertutup pun masih juga berpotensi yang mendapatkan kekerasan seksual. Menurutnya kesalahan tersebut terletak pada pola pikir individunya bukan pada pakaian sexynya.

Kultural atau dari budaya dan perspektif, berpendapat bahwa perempuan sexy dikonstruksikan sebagai perempuan yang menggoda. Menurut penelitian terbaru tahun 2021, pelecehan seksual banyak dilakukan oleh orang orang terdekat karena adanya relasi dan kuasa. Sedangkan pada orang yang tidak memiliki relasi dan kuasa cenderung lebih sedikt kasusnya.

“ Di Indonesia telah ada konvensi penghapusan diskriminasi perempuan sejak tahun 1984. Namun kenyatannya hingga saat ini bentuk diskriminatif terhadap perempuan secara kultural dan structural masih saja terjadi,” imbuhnya.

Lutfi Hakim menambahkan, dalam lingkungan jurnalisme seorang jurnalis harus memahami tentang peraturan kesetaraan gender. Misalnya dalam kasus pemerkosaan yang menceritakan detail peristiwa dan juga RUU ketenagakerjaan yang membahas cuti bagi ibu hamil dan melahirkan hingga 6 bulan lamanya.

“ Marilah para jurnalis memiliki sifat etika of care. Dan mudah mudahan ini menjadi suatu kajian yang kolaboratif antara PWI dan Untag untuk bersama-sama menjadi feminism, bukan berarti secara tampilan namun secara pemikiran wartawan laki-laki memiliki pemikiran yang berpihak pada kepentingan perempuan,” pungkasnya.(iz)