JATIMPOS.CO/SURABAYA - Sejak 2011 sampai sekarang memorandum of understanding (MoU) penegakan hukum antara Polri dan Dewan Pers masih ada. Karena itu Polda Jatim meminta agar Mou dengan Dewan Pers tidak dicabut.

Dalam masalah yang berkaitan dengan insan pers yang digunakan polisi adalah Delik Pers, dan bukan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Kabid Humas Polda Jatim Kombes Pol Frans Barung Mangera, mengungkapkan hal itu dalam diskusi publik yang diselenggarakan Dewan Pers dengan tema "RKUHP Dalam Perspektif Kemerdekaan Pers" di Hotel Santika, Jalan Raya Gubeng Surabaya, Kamis (31/10).

Menurut Frans, MoU antara Polri dengan Dewan Pers selalu menjadi acuan polisi setiap ada delik pers karena ada aduan dari masyarakat soal pemberitaan. Delik pers ini akan terus terjadi mengingat dinamika hukum yang terus berlangsung.

Karena itu MoU dengan Dewan Pers ini selalu menjadi rujukan polisi dalam penyidikan. Bahkan, untuk penguatan di daerah, Frans minta kepada Dewan Pers agar MoU ini bisa ditindaklanjuti sampai ke tingkat kabupaten/kota.

Menyikapi Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP), Ketua Komisi Hukum dan Perundangan Dewan Pers Agung Dharmajaya, mengatakan masih ada pasal-pasal yang menimbulkan kontroversi karena bisa membelenggu daya kritis jurnalis.

Agung memberi contoh, pasal 218 - 219 tentang penghinaan terhadap Presiden, pasal 240 - 241 tentang penghinaan pemerintahan yang sah, dan pasal 253 - 254 tentang penghinaan Lembaga Negara. Pasal tersebut seharusnya dicoret karena bersifat kontraproduktif atau pasal karet.

Agung mengatakan pasal-pasal yang ada di RUU KUHP dapat mengganggu kebebasan pers. Kebebasan pers, disebutnya, akan tercampur dengan Undang-Undang KUHP jika RUU itu sudah disahkan.

"Ketika sekarang muncul persoalan masuk KUHP artinya bicara kebebasan pers menyampaikan gagasan pendapat di satu sisi terbelenggu pidana, artinya tumpang-tindih. Pers jelas kalau itu kan larinya bukan pidana itu perdata," jelas Agung.

"Kalau sekarang itu diberlakukan teman-teman media harus berpikir dua kali dalam membuat berita," sambungnya.

Ketua Dewan Pers Mohammad Nuh mengemukakan hal sama terkait RKHUP. Ia meminta sebelum pengesahan RKHUP tersebut, meminta agar pasal yang rawan itu dicoret saja.

Selain itu, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengundang kembali partisipasi masyarakat dalam penyusunan RKUHP, karena negara ini milik semua bukan satu atau dua orang tertentu.

Diskusi yang dipandu oleh Ketua IJTI Yadi Hendriana itu juga menghadirkan narasumber Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhamad Isnur, dan akdemisi ahli di bidang pers Dr Herlambang P. Wirataman dari HRLS FH Unair. (tri/yus)