JATIMPOS.CO//SURABAYA- Perlunya kelenturan implementasi program Merdeka Belajar Kemendikbud mengantisipasi kendala psikologi anak didik yg masih dibangku sekolah. Berikut ini catatan : M. AMINUDIN *(Peneliti Senior Institute for Strategic and Development Studies (ISDS)/ Pengurus Pusat Alumni UNAIR/ Staf Ahli Pusat Pengkajian MPR RI tahun 2005/Staf Ahli DPR RI 2008/Tim Ahli DPD RI 2013.

MENDIKBUDRISTEK Nadiem Makarim ketika mengikuti rapat kerja dengan Komisi X DPR akhir Februari 2022 ini menandaskan Kurikulum Merdeka juga dapat diterapkan pada satuan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD). Pernyataan Menteri ini tentu menarik, kalau merdeka sekedar diterapkan ke anak didik yang masih anak-anak PAUD, TK dan SD tentu bisa saja tapi hasilnya belum diketahui apakah membawa kemajuan atau kemunduran dibanding kurikulum sebelumnya ini yang perlu dicermati ke depan.

Karena perkembangan psikolog anak dan dewasa berbeda, itulah kenapa prinsip pendekatan pendidikan bagi anak dan orang dewasa berbeda metododologi pendekatannya. Perbedaan itu di antaranya aspek pengalaman belajar, kebutuhan, hambatan, konsep diri, maupun tugas dan tanggung jawab. Orang dewasa mempunyai pengalaman belajar lebih banyak dan luas dibanding usia anak-anak yang pengalamannya masih sangat minim dan terbatas. Pengalaman belajar dimiliki oleh orang dewasa cenderung bersifat praktis dan pragmatis.

Pada aspek pengetahuan, sikap, dan keterampilan, orientasi belajar orang dewasa adalah untuk mendalami kajian dan perluasan pengalaman dari apa yang telah diperoleh pada masa lalu, sedangkan bagi anak-anak berpusat pada pembentukan dasar-dasar dari pengertian, nilai-nilai, keterampilan, dan sikap.

Hambatan untuk mengubah tingkah laku orang dewasa terkait dengan lingkungan sosial, pekerjaan, dan kebutuhan dirinya. Sementara pada anak-anak, hambatan untuk berubah terkait dengan pertumbuhan fisik, sosialisasi, dan pekerjaan yang akan dihadapi di masa mendatang.

Bagi orang dewasa, kebutuhan belajar sudah banyak sebagai bahan analisa sehingga cocok dengan kurikulum merdeka belajar, sementara pada anak-anak berhubungan dengan pengembangan pola menyuapi informasi dan skill baru yang mereka lebih menyukai hal-hal bersifat permainan (role play). Pada praktiknya, orang dewasa lebih banyak menggunakan pikiran generalisasi dan abstrak dalam belajar, sedangkan anak anak lebih banyak menggunakan pikiran konkrit. Selain itu, orang dewasa dapat merencanakan dan memprogram kebutuhan belajarnya sendiri dengan mandiri, sementara anak-anak belum memiliki kecakapan untuk hal tersebut, karena itu lebih banyak membutuhkan bimbingan orang lain yang lebih dewasa untuk memberikan aspek pengetahuan baru.

Karena itu pola pembelajaran dibedakan antara orang dewasa (andragogi) dan anak-anak (pedagogi), baik ditinjau dari aspek gaya belajar, tujuan, pengalaman, keterlibatan, proses, maupun komunikasi. Perbedaan penting dari pendekatan itu adalah pada orang dewasa (andragogi) Gaya belajarnya independen tapi Gaya belajar anak-anak (pedagogi) masih dependen belum bisa dibuat mandiri sepenuhnya. Diasumsikan bahwa peserta didik Dewasa memiliki pengalaman untuk berkontribusi. Sebaliknya anak-anak diasumsikan tidak berpengalaman dan kurang Informasi

Dengan perbedaan asumsi dasar metode pendidikan orang dewasa dan anak di atas nampak merdeka belajar kompatible dengan program Merdeka belajar KEMENDIKBUDRISTEK. Merdeka belajar dalam pengertian sekolah, guru-guru, dan muridnya, mempunyai kebebasan dalam berinovasi dan bertindak dalam proses belajar mengajar. Konsekuensinya, guru sangat dianjurkan untuk tidak bersikap monoton dan berorientasi pada guru saja.

Esensi kemerdekaan dan kebebasan berpikir harus dimulai oleh guru terlebih dahulu sebelum kemudian diajarkan pada para siswa dan siswi. Sistem pengajaran berubah dari yang sebelumnya dilakukan di dalam kelas menjadi dilakukan di luar kelas. Murid dapat berdiskusi lebih dalam dengan guru, belajar dengan outing class, dan tidak hanya mendengarkan penjelasan guru saja. Terbentuknya karakter peserta didik yang berani dan mandiri.

Jika dimanage secara benar program merdeka belajar itu akan membawa perubahan iklim pendidikan luar biasa, menembus kekakuan birokrasi pendidikan. Proses belajar-mengajar tak lagi dibatasi jam belajar sekolah tapi bisa di luar jam sekolah ketika sedang liburan yang kadang-kadang sangat panjang.

Siswa atau anak didik bisa bertanya tentang sesuatu yang ingin diketahui baik kesulitan tentag pelajaran atau kejanggalan yang dia temukan karena tambahan informasi baru diluar sekolah. Itu hanya dimungkinkan jika ada iktikad baik dari guru dan kemauan dari para siswa dengan memanfaatkan bukan hanya platform media sosial zoom meeting tapi membuat group kelas melalui WA atau FB.

Dengan demikian Pola pendidikan di masa lalu yang sering membawa sistuasi mencekam bagi anak didik tugas menumpuk, perintah, dan hukuman, akan diganti dengan suasana belajar yang lebih nyaman.

Anak juga akan mulai berkikap kritis tidak lagi menganggap yang guru ajarkan dogma. Penyampaian kritik dan saran dengan sopan dan santun juga diperlukan, tanpa adanya itu tak akan ada anak kritis karena takut mengkritik dan hanya diam jika ada hal yang salah.

Pendidikan di masa lalu anak-anak terbiasa dengan ancaman, ketakutan, dan menuruti dan mengiyakan semua perintah dan aturan, tanpa diberi ruang dalam berekspresi, berpendapat, dan bertanya banyak hal. Dengan merdeka belajar diharapkan banyak ruang baru berdiskusi dan berkompromi kepada anak mengenai pembelajaran bukan asal memberi tugas yang tidak bermakna.

Sebab, hal ini tergantung pada kesadaran guru apakah menjadikan anak didiknya menjadi manusia merdeka atau penurut perintah saja.
Mereka yang terbiasa bergerak perintah dari luar yang bukan berasal darinya, tanpa tahu maksud dibaliknya, membuat daya kritis serta kepercayaan diri mereka akan melemah.

Mereka kurang punya keberanian untuk mengungkapkan dan mempertanggungjawabkannya, memilih tidak usah banyak bicara, lebih baik diam saja, lebih aman, yang penting atasan (guru) senang (generasi ABS), meski ada hal yang bertentangan.

Akhirnya, anak menjadi mesin pelaksana perintah. Mereka tidak punya kemandirian, dan kreativitas dalam memutuskan untuk melakukan apa yang diinginkan di kemudian hari, karena anak bergantung pada pemberi perintah. Ketika diberi kebebasan, tampaknya mereka masih bingung karena mereka terbiasa tergerak oleh karena perintah orang lain.

Berbeda dengan anak yang diberi kebebasan dalam bidang yang diminati, dia mungkin akan ada perasaan senang belajar, mencoba belajar dari kesalahan dan kegagalan, bertanggung jawab atas pilihan yang dipilih, sehingga anak tumbuh menjadi pribadi yang mandiri dan merdeka. Perubahan itulah yang diharapkan sebagai salah satu poin penting dalam memberi kemerdekaan anak dalam belajar.(*)

JATIMPOS.CO//SURABAYA- Perlunya kelenturan implementasi program Merdeka Belajar Kemendikbud mengantisipasi kendala psikologi anak didik yg masih dibangku sekolah. Berikut ini catatan : M. AMINUDIN *(Peneliti Senior Institute for Strategic and Development Studies (ISDS)/ Pengurus Pusat Alumni UNAIR/ Staf Ahli Pusat Pengkajian MPR RI tahun 2005/Staf Ahli DPR RI 2008/Tim Ahli DPD RI 2013.

MENDIKBUDRISTEK Nadiem Makarim ketika mengikuti rapat kerja dengan Komisi X DPR akhir Februari 2022 ini menandaskan Kurikulum Merdeka juga dapat diterapkan pada satuan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD). Pernyataan Menteri ini tentu menarik, kalau merdeka sekedar diterapkan ke anak didik yang masih anak-anak PAUD, TK dan SD tentu bisa saja tapi hasilnya belum diketahui apakah membawa kemajuan atau kemunduran dibanding kurikulum sebelumnya ini yang perlu dicermati ke depan.

Karena perkembangan psikolog anak dan dewasa berbeda, itulah kenapa prinsip pendekatan pendidikan bagi anak dan orang dewasa berbeda metododologi pendekatannya. Perbedaan itu di antaranya aspek pengalaman belajar, kebutuhan, hambatan, konsep diri, maupun tugas dan tanggung jawab. Orang dewasa mempunyai pengalaman belajar lebih banyak dan luas dibanding usia anak-anak yang pengalamannya masih sangat minim dan terbatas. Pengalaman belajar dimiliki oleh orang dewasa cenderung bersifat praktis dan pragmatis.

Pada aspek pengetahuan, sikap, dan keterampilan, orientasi belajar orang dewasa adalah untuk mendalami kajian dan perluasan pengalaman dari apa yang telah diperoleh pada masa lalu, sedangkan bagi anak-anak berpusat pada pembentukan dasar-dasar dari pengertian, nilai-nilai, keterampilan, dan sikap.

Hambatan untuk mengubah tingkah laku orang dewasa terkait dengan lingkungan sosial, pekerjaan, dan kebutuhan dirinya. Sementara pada anak-anak, hambatan untuk berubah terkait dengan pertumbuhan fisik, sosialisasi, dan pekerjaan yang akan dihadapi di masa mendatang.

Bagi orang dewasa, kebutuhan belajar sudah banyak sebagai bahan analisa sehingga cocok dengan kurikulum merdeka belajar, sementara pada anak-anak berhubungan dengan pengembangan pola menyuapi informasi dan skill baru yang mereka lebih menyukai hal-hal bersifat permainan (role play). Pada praktiknya, orang dewasa lebih banyak menggunakan pikiran generalisasi dan abstrak dalam belajar, sedangkan anak anak lebih banyak menggunakan pikiran konkrit. Selain itu, orang dewasa dapat merencanakan dan memprogram kebutuhan belajarnya sendiri dengan mandiri, sementara anak-anak belum memiliki kecakapan untuk hal tersebut, karena itu lebih banyak membutuhkan bimbingan orang lain yang lebih dewasa untuk memberikan aspek pengetahuan baru.

Karena itu pola pembelajaran dibedakan antara orang dewasa (andragogi) dan anak-anak (pedagogi), baik ditinjau dari aspek gaya belajar, tujuan, pengalaman, keterlibatan, proses, maupun komunikasi. Perbedaan penting dari pendekatan itu adalah pada orang dewasa (andragogi) Gaya belajarnya independen tapi Gaya belajar anak-anak (pedagogi) masih dependen belum bisa dibuat mandiri sepenuhnya. Diasumsikan bahwa peserta didik Dewasa memiliki pengalaman untuk berkontribusi. Sebaliknya anak-anak diasumsikan tidak berpengalaman dan kurang Informasi

Dengan perbedaan asumsi dasar metode pendidikan orang dewasa dan anak di atas nampak merdeka belajar kompatible dengan program Merdeka belajar KEMENDIKBUDRISTEK. Merdeka belajar dalam pengertian sekolah, guru-guru, dan muridnya, mempunyai kebebasan dalam berinovasi dan bertindak dalam proses belajar mengajar. Konsekuensinya, guru sangat dianjurkan untuk tidak bersikap monoton dan berorientasi pada guru saja.

Esensi kemerdekaan dan kebebasan berpikir harus dimulai oleh guru terlebih dahulu sebelum kemudian diajarkan pada para siswa dan siswi. Sistem pengajaran berubah dari yang sebelumnya dilakukan di dalam kelas menjadi dilakukan di luar kelas. Murid dapat berdiskusi lebih dalam dengan guru, belajar dengan outing class, dan tidak hanya mendengarkan penjelasan guru saja. Terbentuknya karakter peserta didik yang berani dan mandiri.

Jika dimanage secara benar program merdeka belajar itu akan membawa perubahan iklim pendidikan luar biasa, menembus kekakuan birokrasi pendidikan. Proses belajar-mengajar tak lagi dibatasi jam belajar sekolah tapi bisa di luar jam sekolah ketika sedang liburan yang kadang-kadang sangat panjang.

Siswa atau anak didik bisa bertanya tentang sesuatu yang ingin diketahui baik kesulitan tentag pelajaran atau kejanggalan yang dia temukan karena tambahan informasi baru diluar sekolah. Itu hanya dimungkinkan jika ada iktikad baik dari guru dan kemauan dari para siswa dengan memanfaatkan bukan hanya platform media sosial zoom meeting tapi membuat group kelas melalui WA atau FB.

Dengan demikian Pola pendidikan di masa lalu yang sering membawa sistuasi mencekam bagi anak didik tugas menumpuk, perintah, dan hukuman, akan diganti dengan suasana belajar yang lebih nyaman.

Anak juga akan mulai berkikap kritis tidak lagi menganggap yang guru ajarkan dogma. Penyampaian kritik dan saran dengan sopan dan santun juga diperlukan, tanpa adanya itu tak akan ada anak kritis karena takut mengkritik dan hanya diam jika ada hal yang salah.

Pendidikan di masa lalu anak-anak terbiasa dengan ancaman, ketakutan, dan menuruti dan mengiyakan semua perintah dan aturan, tanpa diberi ruang dalam berekspresi, berpendapat, dan bertanya banyak hal. Dengan merdeka belajar diharapkan banyak ruang baru berdiskusi dan berkompromi kepada anak mengenai pembelajaran bukan asal memberi tugas yang tidak bermakna.

Sebab, hal ini tergantung pada kesadaran guru apakah menjadikan anak didiknya menjadi manusia merdeka atau penurut perintah saja.
Mereka yang terbiasa bergerak perintah dari luar yang bukan berasal darinya, tanpa tahu maksud dibaliknya, membuat daya kritis serta kepercayaan diri mereka akan melemah.

Mereka kurang punya keberanian untuk mengungkapkan dan mempertanggungjawabkannya, memilih tidak usah banyak bicara, lebih baik diam saja, lebih aman, yang penting atasan (guru) senang (generasi ABS), meski ada hal yang bertentangan.

Akhirnya, anak menjadi mesin pelaksana perintah. Mereka tidak punya kemandirian, dan kreativitas dalam memutuskan untuk melakukan apa yang diinginkan di kemudian hari, karena anak bergantung pada pemberi perintah. Ketika diberi kebebasan, tampaknya mereka masih bingung karena mereka terbiasa tergerak oleh karena perintah orang lain.

Berbeda dengan anak yang diberi kebebasan dalam bidang yang diminati, dia mungkin akan ada perasaan senang belajar, mencoba belajar dari kesalahan dan kegagalan, bertanggung jawab atas pilihan yang dipilih, sehingga anak tumbuh menjadi pribadi yang mandiri dan merdeka. Perubahan itulah yang diharapkan sebagai salah satu poin penting dalam memberi kemerdekaan anak dalam belajar.(*)