JATIMPOS.CO/SURABAYA - DPRD Surabaya menyatakan keprihatinan mendalam atas tindakan PT. KAI DAOPS 8 yang melakukan penggusuran paksa terhadap rumah warga di Jl. Penataran No. 7, Pacarkeling, Surabaya.

Hal ini terungkap setelah menerima aduan warga dalam rapat dengar pendapat pada Senin (23/12/2024), Dewan menilai tindakan tersebut melanggar prosedur hukum dan prinsip kemanusiaan.

Pengakuan warga, penggusuran berlangsung pada dini hari pukul 05.00 WIB dilakukan dengan bantuan pihak yang tidak berwenang, memicu protes dari warga yang terdampak.

Bukti berupa video menunjukkan kerusakan dan intimidasi yang terjadi selama penggusuran. Warga menilai tindakan PT KAI sepihak karena sengketa lahan tersebut masih dalam proses hukum.

Ahmad Syafii, Ketua Aliansi Penghuni Rumah dan Tanah Negara (APRTN), menyatakan bahwa penggusuran ini melanggar prinsip hidup bermasyarakat.

“Warga telah menghuni tanah tersebut secara turun-temurun sejak sebelum Indonesia merdeka, sementara dokumen PT. KAI baru ditetapkan pada tahun 2.000,” kata Ahmad.

Ia juga mendesak PT. KAI untuk menghormati proses hukum yang sedang berjalan dan menghentikan tindakan premanisme seperti intimidasi dan kriminalisasi terhadap warga.

Ahmad juga sepakat dengan warga Pacarkeling yang berjumlah sekitar 1.700 KK untuk menyiapkan gugatan hukum, termasuk gugatan perdata, gugatan PTUN, hingga merumuskan potensi opsi gugatan kepada Presiden RI.

“Dengan dukungan dari puluhan ribu warga lain yang menghadapi konflik serupa, kita perjuangkan penyelesaian yang menghormati hak penghuni lama tanpa tindakan main hakim sendiri,” tandas Ahmad.

Sementara itu, Komisi C DPRD Surabaya menyuarakan dukungan penuh atas perjuangan warga. Mereka akan bekerja sama dengan Komisi V DPR-RI untuk mengawal penyelesaian kasus ini.

Ketua Komisi C DPRD Surabaya M Eri Irawan mengkritik ketidakpatuhan PT. KAI terhadap arahan Menteri BUMN Erick Thohir dan Presiden Prabowo yang menyerukan pendekatan humanis dalam setiap konflik dengan masyarakat.

Eri menyampaikan tiga tuntutan untuk PT KAI, “Pertama, pengambilalihan lahan harus menunggu keputusan pengadilan berkekuatan hukum tetap. Kedua, warga yang diusir harus dikembalikan ke rumahnya dalam waktu tiga hari kerja. Dan ketiga, segala bentuk kekerasan terhadap warga harus dihentikan,” kata Eri kepada pers seusai rapat.

Tak hanya itu, Eri juga membeberkan jika ternyata PT. KAI hanya memiliki keterangan status pengelolaan tanahnya, yang tentu bukan merupakan bukti hak milik. Setiap aktifitasnya juga tidak berdasarkan keputusan hukum tetapi hanya berdasarkan asumsi.

“PT. KAI juga tidak bisa menunjukkan alas Peraturan Menteri yang dijadikan dasar untuk melakukan penertiban. Dan kami yakin di peraturan menteri BUMN manapun tidak ada model penertiban aset dengan menggunakan cara-cara kekerasan seperti itu,” tutup Eri. (fred)