JATIMPOS.CO/SURABAYA – Anggota DPRD Provinsi Jatim, Hj. Lilik Hendarwati menggelar kegiatan reses II Tahun 2025 di Joglo Harmony, Kelurahan Keputih, Kecamatan Sukolilo, Surabaya, Selasa (1/7) malam.

Dalam reses tersebut berbagai aspirasi disampaikan warga dan terjadi dialog dua arah. Warga banyak menyampaikan persoalan layanan pendidikan ; mulai dari ketiadaan sekolah negeri di wilayah mereka, keterbatasan beasiswa, hingga pelanggaran hak siswa seperti pelarangan mengikuti ujian karena tunggakan SPP.

Juga status kepemilikan lahan rumah penduduk yang menyebabkan tidak bisa memperoleh bantuan APBD (bedah rumah) sehingga tetap dalam kondisi prihatin.

Atas masukan warga tersebut, Hj Lilik Hendarwati merasa heran. “Ini termasuk yang lumayan mengenaskan, karena ini berada di Surabaya—salah satu kota metropolis. Saya kira memang butuh sinergi antara pemerintah provinsi dan kota,” ujar Lilik.

Lilik mengaku prihatin masih menemui kesenjangan khususnya masalah pendidikan di kota dengan pendapatan asli daerah (PAD) yang besar.

“Kalau di Surabaya masih ada hal seperti ini, kita juga terenyuh. Padahal ini kota dengan PAD yang luar biasa,” katanya.

Ia mendorong peran aktif masyarakat dalam mengidentifikasi warga atau anak-anak yang membutuhkan bantuan pendidikan.

Menanggapi berbagai persoalan di sekolah hingga kasus penahanan ijazah atau pelarangan ikut ujian karena belum melunasi SPP, Lilik menegaskan pentingnya pengawasan terhadap sekolah, termasuk sekolah swasta penerima bantuan operasional dari pemerintah.

“Sekolah swasta tetap harus diawasi. Kita harus pastikan tidak ada kebijakan yang merugikan anak didik, seperti menahan ijazah atau melarang ikut ujian hanya karena tunggakan SPP,” jelasnya.

Lilik juga mendorong perluasan akses beasiswa, baik dari pemerintah provinsi, sektor swasta, maupun lembaga sosial.

Ia mengajak tokoh masyarakat, RT, dan RW untuk ikut aktif menyuarakan persoalan pendidikan yang dihadapi warganya dan membangun komunikasi terbuka dengan pihak sekolah.

 Selain masalah pendidikan, masih ditemukan penduduk di Surabaya dengan status rumah dan tanahnya terkendala atau terjegal hak kepemilikan sehingga tidak bisa mendapatkan bantuan APBD (bedah rumah) terkait syarat administrasi.

“Kalau pemerintah tidak bisa bantu karena alasan status, ya kita bisa lewat CSR, Baznas, atau yayasan sosial. Itu sangat mungkin,” tegasnya.

 “Surabaya ini kota dengan banyak industri. Mereka harus ikut bertanggung jawab atas pendidikan. CSR jangan hanya untuk infrastruktur, tapi juga pendidikan anak bangsa,” tegasnya.

Lilik menutup reses dengan komitmen untuk menyuarakan aspirasi tersebut ke forum DPRD dan mendorong kebijakan yang berpihak pada pendidikan dan kesejahteraan warga, terutama di daerah-daerah yang masih tertinggal dalam akses layanan pendidikan dasar.(zen)