JATIMPOS.CO/SURABAYA — Besaran tunjangan perumahan bagi pimpinan dan anggota DPRD Jawa Timur kembali menuai perhatian publik. Berdasarkan salinan Keputusan Gubernur Jawa Timur Nomor 188/30/KPTS/013/2023 nilai tunjangan ditetapkan berbeda sesuai jabatan dan dibayarkan setiap bulan dalam bentuk uang.
Dalam keputusan tersebut, Ketua DPRD Jatim menerima Rp57.750.000 per bulan; Wakil Ketua Rp54.862.500; sedangkan anggota DPRD Rp49.087.500 per orang termasuk pajak.
Menanggapi sorotan itu, Ketua DPRD Jatim Musyafak menegaskan pemberian tunjangan mengacu pada aturan yang berlaku.
“Yang penting kita tidak melanggar aturan,” ujarnya kepada wartawan usai rapat paripurna pandangan akhir fraksi terhadap P-APBD Jatim 2025, Senin (8/9/2025).
Ia menambahkan, pihaknya menunggu arahan lanjutan dari pemerintah pusat. “Kita tunggu petunjuk yang aplikatif,” kata Musyafak.
Polemik di tingkat daerah ini muncul di tengah perdebatan nasional mengenai tunjangan perumahan anggota DPR RI yang sebelumnya juga ramai dibahas di ruang publik.
Di sisi lain, Pengamat Politik Universitas Wijaya Kusuma Surabaya (UWKS) Drs. Sucahyo Tri Budiono, M.Si menilai gelombang kritik masyarakat berkaitan erat dengan penilaian atas kinerja legislatif.
“Jadi memang kritik terhadap tunjangan ini kan merupakan suatu bentuk dari kritik masyarakat terhadap kinerja dewan. Dia (anggota dewan) belum menunjukkan kinerja yang baik, dalam artian untuk kepentingan rakyat,” jelas Suahyo saat dihubungi wartawan.
“Ini kan mencuat, beberapa anggota dewan ditanya baik di pusat maupun di daerah terkait dengan penghasilan mereka itu kan tidak ada yang terbuka, transparansi bahkan akuntabilitasnya tidak ada. Walaupun secara Undang-undang tidak menyalahi,” ucapnya.
Menurut dia, ketidakpuasan publik turut dipengaruhi situasi ekonomi yang belum membaik. “Tren perekonomian kita tidak naik, tapi justru menurun. Sementara mereka (anggota dewan) naik trennya. Mestinya (tunjangan) dievaluasi,” tegasnya.
Ia menambahkan, masyarakat kerap membandingkan besaran tunjangan dengan fasilitas lain yang melekat pada anggota legislatif, sehingga memicu persepsi ketidakadilan dan dorongan agar dilakukan evaluasi menyeluruh terhadap kinerja serta kelayakan tunjangan.
“Nah, ini kan rakyat merasa adanya ketidakadilan. Itu yang kira-kira membuat mereka resah kemudian menyampaikan kritik dan tuntutan-tuntutan untuk melakukan evaluasi terhadap kinerja dewan,” pungkas Sucahyo.(zen)