JATIMPOS.CO/SURABAYA — Dalam rapat paripurna DPRD Jatim dengan agenda jawaban gubernur atas PU fraksi terhadap Raperda tentang Perubahan atas Perda No.3/2010 tentang Penanggulangan Bencana, Senin (27/10/2025), anggota Fraksi Gerindra Ahmad Hadinuddin, mengingatkan bahwa penanganan bencana adalah tanggung jawab bersama, bukan sekadar ajang tanya jawab.
“Ini tanggung jawab bersama, bukan tanya jawab bersama. Jadi ukurannya jelas,” ujar Hadinuddin usai mendengarkan jawaban Gubernur yang disampaikan oleh Wagub Emil.
Ia menekankan kebutuhan langkah konkret pemerintah daerah dalam mitigasi dan respons bencana.
“Yang paling ditunggu masyarakat dari penanggulangan bencana Pemprov Jatim adalah aksi nyata,” sambungnya.
Hadinuddin menyoroti kondisi lingkungan di kawasan pegunungan yang dinilai kian memprihatinkan serta meminta aparatur fokus pada kerja lapangan yang terukur.
“Kalau kita lihat gunung-gunung kita, kalau ke Bromo itu sudah gundul. Kalau dari Malang ke Tumpang itu sudah gundulnya luar biasa,” jelasnya.
“Tolong diingatkan aparat untuk bekerja yang lebih nyata. Jangan hanya persoalan menciptakan kegiatan-kegiatan yang sifatnya formalitas saja. Ini persoalan bertahun-tahun yang sampai hari ini bukan tambah mengecil tapi tambah membesar,” pungkasnya.
Sebelumnya, Pemprov Jatim melalui Wakil Gubernur Emil Elestianto Dardak menjawab pemandangan umum seluruh fraksi DPRD Jatim, salah satunya terkait pertanyaan Gerindra soal sinkronisasi norma baru Raperda dengan UU No.23/2014, terutama pembagian urusan antara provinsi dan kabupaten/kota.
“Seluruh ketentuan Raperda ini telah mengacu pada pembagian urusan pemerintahan sebagaimana diatur dalam Lampiran UU 23/2014 dan regulasi BNPB,” jelas Emil.
Menyoal roadmap agar kebijakan tidak berhenti pada tataran administratif, Emil menyebut Pemprov telah menyiapkan dokumen perencanaan yang terintegrasi.
“Pemprov Jatim telah menyusun Kajian Risiko Bencana Provinsi 2023–2026 melalui Pergub No.53/2023, yang memuat Rencana sekaligus mengatur mengenai Penanggulangan Bencana 2023–2027 terintegrasi dengan RPJMD dan RKPD,” imbuhnya menjawab pertanyaan F-Gerindra.
Terkait data terpilah termasuk layanan bagi penyandang disabilitas di BPBD, Emil memastikan ketersediaan dan pengelolaannya.
“Pendataan terpilah se-Jawa Timur telah diunggah dalam Sistem Satu Data Penanggulangan Bencana,” ujarnya.
Untuk koordinasi pentahelix, Emil menegaskan posisi koordinator dan keberadaan forum pengurangan risiko bencana.
“Lead actor koordinasi pentahelix di tingkat provinsi dan kabupaten/kota adalah Sekretaris Daerah selaku ex-officio Kepala BPBD. Sedangkan untuk FPRB telah ditetapkan sejak 2013 berdasarkan Kemenkumham yang berbentuk perkumpulan dan beranggotakan lebih dari 50 unsur pentahelix di seluruh Jatim,” ungkapnya.
Emil juga menyatakan Raperda memberi ruang pada kearifan lokal agar kebijakan tidak kehilangan akar sosialnya.
“Raperda ini mengakui dan menginstitusionalisasi peran kearifan lokal sebagai prinsip utama pelaksanaan penanggulangan bencana,” tegasnya.
Adapun evaluasi kinerja BPBD dan forum relawan disebut berlangsung rutin setiap tahun melalui rapat koordinasi.
“Setiap tahun BPBD bersama forum/lembaga relawan melakukan rapat koordinasi yang salah satunya memuat evaluasi kinerja,” pungkas Emil. (zen)