JATIMPOS.CO//BALI- Pemerintah Provinsi Jawa Timur terus berupaya untuk mengembangkan desa wisata di berbagai daerah Jatim. “Dengan pengembangan desa wisata, kami yakin akan tumbuh basis ekonomi pedesaan sehingga akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa,” kata Gubernur Khofifah Indar Parawansa.
Gubernur memberi contoh Desa Pujon Kidul Kabupaten Malang, dalam setahun bisa memberikan kontribusi ke Kabupaten Malang Rp 2,5 miliar. Juga bisa merekrut tenaga kerja sampai 600 orang dengan income Rp 1,5 -4 juta perbulan.
Salahsatu upaya mendukung pengembangan desa wisata di Jawa Timur, Biro Humas dan Protokol Setdaprov Jatim mengajak sejumlah wartawan yang tergabung dalam Pokja Pemprov Jatim mengunjungi Desa Wisata (Dewi) Penglipuran Kabupaten Bangli Provinsi Bali, Senin (27/1). “Di Jatim banyak potensi desa wisata. Kita perlu studi banding desa yang sudah maju,” kata Ir.Arif Lukman Hakim, MM Kabag Media dan Dokumentasi Humas dan Protokol Pemprov Jatim.
Ketua Pengelola Wisata Penglipuran, I Nengah Muneng memberikan penjelasan tentang Desa Penglipuran bersama Kadis Kominfo Bangli I Wayan Dirgayusa, dan Kabid IKP Kominfo Made Candra. “Disini kami sebut Dewi atau Desa Wisata Penglipuran,” ujar I Nengah Muneng.
Desa Penglipuran di Kabupaten Bangli Provinsi Bali termasuk desa wisata maju berprestasi di tingkat nasional bahkan internasional. Untuk pertamakalinya memperoleh penghargaan Kalpataru (1995), Desa terbersih ke-3 se-dunia versi majalah internasional Boombastic (2016), Indonesia Substainable Tourism Award (2017) dan terakhir Substainable Destinations Top 100 versi Green Destination Foundation.
Cuaca di desa ini memberikan kenyamanan. Temperaturnya bervariasi dari sejuk sampai dingin (16-29 °C) dan curah hujan rata-rata 2000 mm per tahun.
Total area desa ini 112 hektar dengan ketinggian 500-600 meter diatas laut dan berlokasi sekitar 5 kilometer dari kota Bangli atau 45 kilometer dari Kota Denpasar. Desa ini dikelilingi oleh desa adat lainnya, seperti Desa Kayang di utara, Desa Kubu di timur, Desa Gunaksa di selatan dan Desa Cekeng.
Selain suasana nyamaan, penduduk desa ini menjaga dan mempertahankan adat sehingga menjadi daya tarik tersendiri. Bahkan untuk perilaku warga juga dijaga.
Seperti poligami. “Masyarakat Desa Penglipuran, dilarang mempunyai lebih dari satu istri. Jika mempunyai lebih dari satu istri maka ia dan istri-istrinya harus pindah dari karang kerti ke karang memadu (masih didalam desa tetapi bukan bagian utama),” ujar I Nengah Muneng.
Hak dan kewajibannya sebagai warga Desa Adat Penglipuran juga akan dicabut. Setelah orang tersebut pindah, maka akan dibuatkan rumah oleh warga desa tetapi mereka tidak akan boleh melewati jalanan umum ataupun memasuki Pura dan mengikuti kegiatan adat.
Sistem Pengelolaan
Masyarakat Penglipuran mengaplikasikan konsep wisata berbasis masyarakat, berbudaya, dan berwawasan lingkungan. “Bagaimana memberdayakan masyarakat, dari dan oleh masyarakat. Tiket masuk dikelola oleh Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Bangli, tapi dibagi untuk desa,” ujar I Nengah Muneng.
40 persen dari penjualan tiket desa dan 60 persen untuk Pemkab Bangli. Demikian juga pengelola homestay, dibagi antara pengelola homestay 85 persen dan sisanya untuk pengelola adat desa. Demikian juga event tertentu dibagi 50 persen pengelola dan 50 persen adat desa.
Dengan konsep ini, tidak ada masyarakat yang akan mendapatkan keuntungan sendiri-sendiri secara langsung dari pariwisata, karena keuntungan tersebut akan dialokasikan untuk pembangungan desa.
Sebelum konsep ini dilaksanakan, masyarakat Desa Penglipuran mendapatkan keuntungan dengan mengundang masuk turis ke pekarangan mereka sambil menjelaskan tradisi dan budaya mereka. Hal ini dianggap tidak adil karena pekarangan yang jauh dari pintu utama cenderung mendapatkan lebih sedikit kesempatan. (nam)