JATIMPOS.CO/JOMBANG - Media massa memiliki peran penting sesuai kapasitasnya dalam membantu penanggulangan bencana. Baik fase pra, saat dan pasca bencana. Media mampu memberikan potret suatu wilayah dengan potensi ancaman bahaya kepada publik agar makin mengetahui dan memahami.

Demikian dikatakan Ketua PWI Jombang Sutono Abdillah dalam lokakarya 'Jurnalisme Prespektif Penanggulan Bencana', Jumat (26/8/2022) di Green Red Syariah Hotel Jombang.

Lokakarya ini digelar selama dua hari, Jumat dan Sabtu (27/8/2022). Dua narasumber dihadirkan dalam kegiatan tersebut.

Pertama, Sekjen FPRB (Forum Penanggulangan Risiko Bencana) Jawa Timur Suadarmanto. Sedangkan hari kedua menghadirkan jurnalis Indosiar wilayah Kediri-Ngajuk Danu Sukendro. "Ini sebagai upaya kami meningkatkan kapasitas wartawan yang ada di PWI Jombang," kata Sutono.

Sutono menjelaskan, acara tersebut diikuti sekitar 40 orang. Mereka adalah anggota PWI Jombang, perwakilan BPBD (Badan Penanggulangan Bencana), serta perwakilan FPRB Jombang. Wartawan berkacamata minus ini berharap seluruh perserta mengikuti acara secara tuntas. "Karena materi-materinya sangat penting dan dibutuhkan oleh wartawan ketika melakukan peliputan bencana," ujarnya.

Sutono melanjutkan, media memiliki peran penting dalam upaya penanggulan bencana sehingga perlu ada peningkatan profesionalisme dalam peliputan penanggulangan bencana. Peliputan tidak hanya terfokus pada respon terhadap bencana tetapi juga ada kepedulian dan pemahaman masyarakat tentang upaya-upaya penanggulangan bencana yang lebih signifikan.

"Hal itulah yang menjadi latar belakang acara ini," ungkapnya.

Dalam lokakarya tersebut, Sekjen FPRB Jombang Sudarmanto menjelaskan secara panjang lebar tentang bencana. Baik yang disebabkan oleh alam maupun non-alam. Menurutnya, penanggulangan bencana akan berlanggung secara efektif dan efisien kalau ada kolaborasi multipihak atau pentaheliks. Tak hanya pemerintah. Tetapi juga akademisi, dunia usaha, masyarakat dan media massa.

Penyampaian informasi melalui media diharapkan memberikan penyadaran pada masyarakat mengenai berbagai masalah seperti kebakaran hutan dan lahan, banjir, maupun kerusakan ekosistem dan lain-lain. "Peran media bukan hanya dalam menginformasikan peringatan dini. Tapi peran yang paling penting adalah media mempersiapkan kondisi terburuk pada saat

bencana dalam penyiaran berita dan informasi kepada masyarakat," ujar Mbah Darmo, panggilan akrab Sudarmanto.

Mbah Darmo lalu membeberkan tentang siklus update informasi mengenai bencana yang meliputi empat tahap, yakni mitigasi, siap siaga, terjadi bencana, serta rehabilitasi. Dia berharap, wartawan tidak memberitakan peristiwa yang bisa melukai perasaan korban bencana. Karena hal itu justru membuat korban patah semangat.

"Fungsi media dalam kebencanaan adalah memberitakan atau menyiarkan peristiwa bencana. Namun seharusnya pemberiataan itu tidak sampai menyakiti atau melukai perasaan korban bencana, yang dapat mengakibatkan patah semangat atau lainnya," ujar Mbah Darmo.

Sekjen FPRB Jatim ini juga menyoroti penanganan pascabencana sering luput dari pantauan media. Pasalnya, media lebih menyukai liputan bencana yang baru saja terjadi. Semisal peristiwa tsunami dan gempa bumi. Media gencar memberitakan penyebab tsunami dan gempa bumi. Dampak kerusakan, proses evakuasi, dan mengeksploitasi kisah para korban.

Seiring dengan waktu, pemberitaan akan semakin menyusut. Padahal penanganan pascabencana sedang berlangsung dan butuh pengawasan. Media, lanjut Mbah Darmo, perlu secara kritis mengabarkan proses penanganan rekonstruksi dan rehabilitasi pascabencana, dan kendalanya kepada stakeholders, termasuk pemerintah.

"Sebagai wakil publik, media bertugas mengawasi dana rekonstruksi dan rehabilitasi pascabencana. Dalam banyak kasus, pada fase ini sering terjadi penyelewengan dana yang bersumber dari APBN dan donasi," ujar penyandang gelar MMB (Magister Manajemen Bencana) ini. (her)