JATIMPOS.CO/JAKARTA — Sangat wajar, bahkan sebetulnya terlambat, jika Presiden Joko Widodo membagi sedikit kue kekuasaan kepada Yaqut Cholil Qoumas, pimpinan Ansor.

Tokoh muda NU (Nahdlatul Ulama) Yaqut Cholil Qoumas, 45 tahun, ditunjuk Presiden Joko Widodo sebagai Menteri Agama menggantikan Fachrul Razi dalam perombakan (reshuffle) Kabinet Indonesia Maju yang diumumkan Selasa (22/12) kemarin.

“Wajar, bahkan sebetulnya sangat terlambat Presiden Joko Widodo membagi sedikit kue kekuasaan kapada Ketua Umum GP Ansor Yaqut Cholil Qoumas,” kata Adhie M Massardi ketika diminta komentarnya terkait pengangkatan anggota DPR RI dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) ini sebagai Menag RI.

Jubir Presiden KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) ini menjelaskan, GP Ansor, badan otonom NU yang membawahi Banser (Barisan Serba Guna) sejak awal adalah pendukung paling militan Joko Widodo, melebihi partai-partai pengusungnya. Bahkan tak jarang Ansor/Banser jadi bumper dan pasang badan, bahkan secara fisik, dalam menghadapi para pengeritik rezim ini.

“Tapi kue kekuasaan yang diberikan rezim kepada kader Ansor sangat tak sebanding dengan cemoohan publik yang diterima mereka. Posisi basah di BUMN (komisaris dan direksi), misalnya, justru hanya diberikan kepada para pendukung Presiden Widodo yang berjuang sambil berbaring lewat media daring sebagai buzzer,” katanya.

Adhie mengaku kenal dekat dengan Yaqut, adik kandung Yahya Cholil Staquf, koleganya sesama juru bicara presiden era Gus Dur. Yahya Staquf, adalah putra KH Muhammad Cholil Bisri, salah satu pendiri PKB yang kini menjabat Katib Aam PBNU.

Sebagai teman, deklarator KAMI (Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia) ini mengingatkan Yaqut agar tetap cerdas dan baik-baik menjaga integritas.

“Jangan ikut arus pragmatisme karena sebagai tokoh muda NU masa depan politik Yaqut masih panjang. Ingat, Menteri Agama RI itu menterinya semua umat beragama warga negara RI. Bukan hanya umat Islam, apalagi Nahdliyin semata,” tutur Adhie.

Koordinator Gerakan Indonesia Bersih (GIB) ini juga menasehati Yaqut sebagai kader NU untuk mengingat riwayat lahirnya NU.

“Cikal-bakal NU itu adalah Komite Hijaz, kepanitiaan kecil pimpinan KH Wahab Hasbullah (1924-1925) untuk berdialog dengan Raja Arab Saudi Ibnu Saud, sebagai merespons atas ancaman kebijakan antipluralitas mazhab Wahabi yang diberlakukan di Hijaz (Mekkah dan Madinah),” sambungnya.

“Utamakan dialog, karena, seperti sering dinasehatkan Gus Dur, tidak ada masalah yang tidak bisa diselesaikan dengan dialog,” masih kata dia.

Dia menambahkan, umat beragama di Indonesia ini sudah letih diadu-domba antaragama maupun antarumat beragama, sementara ekonomi umat dibiarkan morat-marit.

“Intinya, siapa pun dia, apa pun agamanya, jika melakukan tindak pidana yang ada deliknya di KUHP, serahkan sepenuhnya kepada aparat penegak hukum. Jangan gegara aparat tak bisa negakkan keadilan, tindak pidana yang dilakukan seseorang atau suatu kelompok dikaitkan dengan agama yang dianutnya,” masih sambungnya.

“Buktikan bahwa kader NU itu jika diberi amanah (jabatan) akan dijalankan demi, semata-mata, kemaslahatan bangsa,” begitu nasehat Adhie Massardi kepada Menteri Agama yang baru, Yaqut Cholil Qoumas. (*)