JATIMPOS.CO/LAMONGAN - WHO menetapkan tanggal 24 Maret sebagai Hari Tuberkulosis Sedunia.
Peringatan ini ditujukan kepada seluruh penduduk dunia untuk mengingatkan kembali dan membangun kesadaran bahwa selain wabah pandemi covid-19 yang belum berakhir, ada masalah kesehatan yang belum dituntaskan yaitu wabah penyakit Tuberkulosis.
WHO menekankan pentingnya menyusun strategi baru dalam hal penemuan kasus baru, investigasi kontak, pengobatan, monitoring evaluasi pengobatan, pencatatan, dan promosi kesehatan.
Tahukah Anda, mengapa 24 Maret ditetapkan sebagai Hari TBC sedunia? Awalnya, 24 Maret 1882, Seorang doctor bernama Dr. Robert Koch telah berhasil menemukan penyebab dari penyakit Tuberkulosis, yakni Mycobacterium tuberculosis.
Pada saat itu, wabah TBC sedang menyebar di Eropa dan Amerika, yang menyebabkan kematian satu dari tujuh orang. Untuk mengenang jasanya inilah, tanggal 24 Maret ditetapkan sebagai hari tuberkulosis sedunia.
Menurut laporan WHO tahun 2018, peringkat Indonesia naik menjadi ranking kedua sebagai negara dengan beban penyakit Tuberkulosis tertinggi di dunia, dengan insidensi sebesar 316 per 100.000 penduduk atau diperkirakan sebesar 845.000 kasus, dengan angka kematian akibat TBC sebesar 35 per 100.000 penduduk atau sekitar 93.000 orang meninggal akibat TBC pada tahun 2018.
Dari 845.000 kasus TBC di Indonesia, 24.000 kasus diantaranya mengalami Resisten Obat (TBC RO) atau kebal terhadap obat anti-TBC standar. Pada tahun 2019 sebanyak 11.463 pasien telah terkonfirmasi laboratorium yang resisten terhadap Rifampicin bahkan beberapa Obat TBC (MDR/RR-TB). Sayangnya hanya sekitar 49% dari pasien TBC-RO yang sudah memulai pengobatan. Artinya masih ada sekitar 12.000 pasien TBC-RO belum mendapatkan pengobatan yang berpotensi menjadi sumber penularan di masyarakat dan meningkatkan angka kematian.
Berangkat dari masalah kesehatan Nasional yang belum terselesaikan ini, Majelis Pembina Kesehatan Umum (MPKU) Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah mendapat dukungan penuh dana dari USAID (United States Agency for International Development) baik dalam hal pengelolaan manajemen, peningkatan kapasitas sumber daya manusia dlm pelaksanaan program dan persiapan sarana prasarana termasuk penyediaan TCM (Tes Cepat Molekuler) serta alat kesehatan lainnya dari USAID.
Sementara untuk proses pengobatan, penyediaan obat dan catrige untuk TCM, RS bekerjasama dgn Dinas Kesahatan setempat. MPKU PP Muhammadiyah memilih dr. Pitut Aprilia Savitri, M.KK sebagai direktur proyek untuk membentuk enam Rumah Sakit Muhammadiyah terpilih sebagai Rumah Sakit swasta untuk rujukan layanan TBC Resisten Obat (RO) melalui program Mentari TB, salah satunya di Rumah Sakit Muhammadiyah Lamongan dengan Emi Yuliana Ulya, M.Kes sebagai Technical Officer yang ditargetkan membuka layanan “Klinik TB-RO” mulai Juli 2021.
Oleh karena itu, dengan kerjasama yg baik antara MPKU PP Muhammadiyah, USAID dan Kementrian Kesehatan serta jajaran nya diharapkan tujuan MPKU PP Muhammadiyah dapat ikut berperan aktif dalam penanganan dan penyembuhan pasien TBC-RO di Indonesia sehingga eliminasi penyakit Tuberkulosis thn 2030 di Indonesia dapat tercapai.
Dihari tuberkulosis, RS Muhammadiyah Lamongan juga berperan aktif untuk mempromosikan kesehatan kepada masyarakat Lamongan dan sekitarnya melalui beberapa kegiatan seperti penyuluhan dengan narasumber dr. Akbar Rasyid Ibrahim, talkshow di radio prameswara lamongan dengan narasumber dr. M. Fahmi Nuur Fauzan, dan talkshow Instagram live dengan narasumber dr. H. Ganis Tjahyono, SpP dan dr. Taufik Hidayat selaku Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Lamongan.
Kegiatan-kegiatan seperti ini diharapkan bisa menyadarkan masyarakat agar tidak meremehkan penyakit tuberkulosis dan berperan aktif untuk memeriksakan diri ke RS Muhammadiyah Lamongan jika mengeluhkan batuk lama. (*)
Penulis : dr. Mohammad Fahmi Nuur Fauzan (General Practitioner (GP) Mentari TB RS Muhammadiyah Lamongan)