JATIMPOS.CO/PAMEKASAN - Gabungan Organisasi Nelayan (GON) Kabupaten Pamekasan, Madura, Jawa Timur mendatangi ruang sidang Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) Fraksi Nasdem, di Jakarta.
Kedatangan GON Pamekasan tersebut dalam rangka meminta dukungan dari DPR RI Fraksi Nasdem, agar ikut menolak PP 85 tahun 2021, tentang pemberlakuan Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Pasalnya, PP yang dikeluarkan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan Republika Indonesia (KKP-RI) tersebut dianggap mencekik nelayan kecil.
Kedatangan GON Pamekasan itu tampak didampingi oleh Ketua Fraksi Nasdem DPRD Pamekasan Hamidi, Ketua DPW Partai NasDem Jatim, Sri Sajekti Sudjunadi dan sejumlah anggota Fraksi Nasdem DPRD Jawa Timur.
Rapat dengar pendapat (RDP) itu disambut langsung oleh Anggota DPR-RI Fraksi Nasdem, Willy Aditya, Suyoto, H. Charles dan Ali Marzuki.
Ketua GON Kabupaten Pamekasan, Sutan Taqdir Alisyahbana mengaku sangat bersyukur. Karena kedatangannya mendapat respon positif dari anggota DPR RI fraksi Nasdem. Kata dia, dalam waktu dekat, fraksi Nasdem berjanji akan menggelar rapat bersama sejumlah komisi dan Menteri KKP RI, untuk membahas mengenai PP 85 tahun 2021.
"Sikap Fraksi Nasdem menolak dan meminta agar kebijakan itu dicabut. Kemudian akan dilakukan legislative review. Bahkan dalam waktu dekat, pihak DPR RI akan melakukan lokakarya aspirasi yang dalam hal ini akan menampung isu nelayan," kata Sutan, Selasa (26/10/2021).
Menurut Sutan, Pemberlakuan PP 85 tahun 2021 dianggap sangat memberatkan dan mencekik para nelayan. Pertama, mengenai pemberlakuan jenis tarif PNBP terhadap nelayan dengan kapasitas 5 hingga 30 GT. Sebelumnya, PP nomor 75 tahun 2015 tentang jenis dan tarif penerimaan negara bukan pajak pada KKP RI itu mengatur hanya untuk nelayan dengan kapasitas 30 GT ke atas.
Poin kedua, para nelayan dikenakan tarif praproduksi dan pasca produksi. Tarif praproduksi adalah tarif di mana nelayan sebelum melakukan aktivitas melaut sudah dikenakan pajak. Kemudian setelah melaut juga dikenakan tarif pasca produksi.
"Jadi berapa banyak ikan yang didapat dan berapa yang harus disetor oleh nelayan pasca produksi. Hal ini yang paling memberatkan bagi nelayan. Karena setiap kali melaut dan melakukan pembongkaran ikan di pelabuhan ikan maka, tarif itu dikenakan. Tetapi kalau nelayan itu tidak membayar tarif pasca produksinya maka, sangsi yang harus diterima yaitu tidak akan diterbitkan surat persetujuan berlayar," paparnya
Seharusnya, tambah dia, Menteri KKP RI memperhatikan nasib nelayan, apalagi ditengah pandemi Covid-19. Sebab pandemi ini sangat berdampak terhadap perekonomian masyarakat kecil (nelayan). Bukan malah membebani dengan menerbitkan PP tersebut.
"Ini menjadi berat, menjadi beban tambahan operasional para nelayan. Karena meskipun nelayan dapat ikan belum tentu untung dan belum tentu mencukupi biaya operasionalnya. Kok pemerintah pusat malah menambah beban," tutur dia.
Dia juga meminta DPR RI agar menginisiasi atau memfasilitasi nelayan dengan segera membangun pelabuhan pendaratan ikan. Pasalnya, sampai saat ini, para nelayan Pamekasan masih menumpang terhadap pelabuhan umum. Sementara, masyarakat Bumi Gerbang Salam 30% penduduknya adalah nelayan.
"Kami usulkan kepada DPR RI, bahwa Pamekasan ini sangat membutuhkan pelabuhan pendaratan ikan karena selama ini nelayan Pamekasan numpang ke pelabuhan umum," jelas Sutan
Selain itu, dia juga berharap agar ada perampingan beberapa jenis surat yang harus nelayan miliki. Sebab, persoalan surat tersebut juga menjadi beban berat nelayan.
"Bayangkan untuk nelayan kecil 10 GT sampai dengan 30 GT harus 8 jenis surat izin yang harus dimiliki. Dan dua jenis surat izin itu diantaranya harus diperpanjang atau diperbaharui dalam satu minggu satu kali," pungkasnya. (did)