JATIMPOS.CO/SURABAYA – Surabaya tak hanya dikenal sebagai "Kota Pahlawan" karena heroisme pertempuran 10 November 1945, tetapi kota juga menyandang peran yang lebih dalam dan mendasar: sebagai "dapur nasionalisme" yang membentuk karakter dan pikiran tokoh proklamator bangsa, Ir. Soekarno. Di kota inilah, Soekarno muda mengalami tempaan intelektual, sosial, dan spiritual yang membentuknya menjadi pemimpin revolusioner yang dicintai rakyat.

Sejarawan sekaligus Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga, Prof. Dr. Purnawan Basundoro menegaskan bahwa Soekarno sendiri mengakui pengaruh besar Surabaya dalam proses pembentukan jati dirinya.

"Kota ini menjadi ruang perjumpaan ide dan pergolakan sosial yang luar biasa pada awal abad ke-20. Soekarno tumbuh di tengah denyut kota industri, hiruk-pikuk pelabuhan, dan dinamika gerakan rakyat,” tutur Prof. Purnawan dalam sebuah diskusi sejarah, Jumat (13/6/2025).

Soekarno lahir di Surabaya pada 6 Juni 1901 dan meskipun berpindah-pindah ke sejumlah kota di Jawa Timur, pada usia 15 tahun ia kembali ke Surabaya untuk menempuh pendidikan di Hogere Burgerschool (HBS).

Namun bukan hanya bangku sekolah yang membentuknya, melainkan tempat tinggalnya di rumah pemimpin Sarekat Islam, Haji Oemar Said (HOS) Tjokroaminoto, di kawasan Peneleh.

Rumah Tjokroaminoto di Jalan Peneleh Gang VII No. 29 inilah yang kini telah diresmikan sebagai museum sejarah hidup. Di rumah ini, Soekarno tidak hanya sekadar menumpang tinggal, tetapi juga mendapatkan pendidikan informal yang sangat mendalam.

Rumah itu bak "asrama ideologi", tempat para tokoh muda dengan berbagai aliran pemikiran bertemu dan berdialektika. Mulai dari Semaun dengan komunismenya, Musso yang revolusioner, hingga Kartosoewirjo yang kelak menjadi pemimpin Darul Islam, semuanya pernah tinggal di bawah satu atap bersama Soekarno muda.

Kisah perjuangan Bung Karno di Surabaya juga disorot oleh pegiat sejarah Begandring Surabaya, Kuncarsono Prasetyo. Ia menegaskan bahwa dalam banyak karya dan pidatonya, Soekarno kerap menyebut Surabaya sebagai "dapur nasionalisme Indonesia". Kawasan Peneleh bahkan bisa dianggap sebagai episentrum gerakan pemuda nasional di masa itu.

“Banyak jejak sejarah Bung Karno yang bisa ditelusuri di Peneleh. Ada Rumah Kelahirannya di Gang Pandean IV Nomor 40, sekolahnya di HBS, dan tentu saja Rumah Tjokroaminoto yang kini jadi situs sejarah,” kata Kuncar.

Kisah ini makin relevan di "Bulan Bung Karno" yang diperingati setiap bulan Juni. Surabaya melalui kepemimpinan Wali Kota Eri Cahyadi menunjukkan komitmennya dalam merawat memori kolektif ini. Pada 6 Mei 2023 lalu, rumah kelahiran Bung Karno di Pandean telah diresmikan sebagai rumah sejarah terbuka untuk publik.

“Sejarah Kota Pahlawan tidak bisa dilepaskan dari Bung Karno. Kami ingin agar Arek-Arek Suroboyo mengenali sejarah ini sebagai bagian dari jati diri mereka,” ujar Eri Cahyadi.

Yang menarik, rumah HOS Tjokroaminoto yang kini menjadi museum bukan sekadar tempat wisata sejarah biasa. Di dalamnya pengunjung bisa melihat kamar Soekarno muda, meja tempat ia menulis artikel, serta berbagai foto dokumentasi masa pergerakan awal. Museum ini menjadi simbol persenyawaan antara ide dan aksi, antara rumah dan medan perjuangan.

Museum ini juga menyimpan koleksi penting berupa naskah-naskah tulisan tangan, serta replika surat kabar tempat Soekarno menuangkan gagasannya.

Surabaya tidak hanya melahirkan Soekarno secara biologis, tetapi juga membentuknya secara ideologis. Rumah Tjokroaminoto di Peneleh adalah bukti bahwa pemikiran besar bisa lahir dari ruang-ruang kecil, selama di dalamnya ada semangat membangun bangsa.

Dari rumah ini, bukan hanya Soekarno yang dibentuk, melainkan semangat nasionalisme Indonesia. Maka sudah sewajarnya kita sebagai generasi penerus, bukan hanya berkunjung dan berfoto di sana, tapi juga menyerap nilai-nilai perjuangan yang tumbuh dari "dapur nasionalisme" Surabaya.(fred)