JATIMPOS.CO/BANYUWANGI – Pemkab Banyuwangi bakal memasifkan penerapan pembelajaran responsif gender untuk membangun kesadaran kesetaraan gender sejak dini. Para kepala TK, SD, dan SMP dari tiga kecamatan pun memulai workshop pembelajaran responsif gender.

”Tahap awal, kepala TK, SD, dan SMP di wilayah Kecamatan Blimbingsari, Muncar, dan Srono sudah mengikuti workshop beberapa waktu lalu. Bergiliran ke kecamatan lainnya. Kepala sekolah bertanggung jawab mewujudkan pembelajaran responsif gender,” ujar Ipuk, Senin (17/5/2021).

Ipuk mengatakan, pembelajaran responsif gender penting diterapkan untuk membangun paradigma kesetaraan gender di kalangan generasi muda. Selama ini, pandangan yang bias gender masih sangat mengemuka di masyarakat, yang sebagian besar merugikan kaum perempuan.

”Contoh kecilnya, misalnya siswi SMP atau SMA dibully, anak perempuan kok enggak bisa masak, ini pandangan bias gender yang menempatkan perempuan hanya di ranah domestik,” ujarnya.

Contoh lainnya, sambung Ipuk, di sekolah kerap ditemui ungkapan “sudah jangan nangis, anak laki-laki tidak boleh cengeng” atau “jadi anak perempuan yang lembut, jangan teriak-teriak”.

“Tanpa sadar, ketika bikin kelompok, nama kelompok pelajar perempuan selalu nama bunga, sedang laki-laki nama hewan misalnya. Ini paradigma bias gender yang tertanam lama,” beber Ipuk.

”Para kepala sekolah harus menjadikan sekolahnya responsif gender, mengakomodasi kepentingan pelajar laki laki dan perempuan secara seimbang dari aspek akses, partisipasi, dan manfaat. Kepala sekolah bertanggung jawab mendorong ini kepada guru, yang nantinya menjalar ke murid-murid,” imbuh bupati yang baru dilantik pada 26 Februari itu.

Ipuk menambahkan, paradigma bias gender sebagian besar merugikan kaum perempuan. Kekerasan hingga kemiskinan yang dialami perempuan selalu lebih buruk.

”Banyak riset bilang, rumah tangga yang dikepalai perempuan memiliki kondisi hidup lebih buruk dibanding yang dikepalai laki-laki. Ini bukan soal kesalahan perempuan, tapi ini hasil dari konstruksi bias gender dalam keseharian yang kemudian membuat perempuan memiliki akses lebih terbatas kepada pendidikan, kesehatan, dan fasilitas publik, ujung-ujungnya ini berakibat ke kemiskinan,” ujarnya.

Sementara itu, pegiat pendidikan yang mengisi workshop pembelajaran responsif gender, Dr Nur Wiarsih, mengatakan, pembelajaran responsif gender bertujuan membangun pola relasi sosial yang lebih baik di antara semua pelajar, baik laki-laki maupun perempuan. Termasuk untuk menghindari kekerasan terhadap pelajar perempuan, baik secara fisik maupun verbal.

Beberapa hal yang dapat dilakukan oleh sekolah antara lain dari sisi kebijakan dengan membuat pemetaan kelompok pelajar rentan dari faktor ekonomi dan sosial lalu memberikan dukungan, perlindungan, advokasi terhadap warga sekolah agar tidak terjadi kekerasan. ”Dan apabila sudah terjadi dapat mencarikan jalan keluar, memastikan layanan pendidikan diperoleh semua anak, termasuk korban,” ujar doktor ilmu pendidikan dari Universitas Negeri Yogyakarta itu.

Dari sisi lingkungan sekolah, baik fisik maupun psikis, harus menjamin pengembangan potensi bagi pelajar laki-laki dan perempuan. ”Misal memperhatikan jumlah kamar mandi bagi anak perempuan dan laki-laki, persentasenya diatur karena kebutuhan penggunaan yang berbeda, menghindari perundungan,” jelas anggota Dewan Pendidikan Banyuwangi tersebut.

Dari sisi proses pembelajaran, sambung Nur Wiarsih, guru dapat menyediakan berbagai aktivitas resposnsif gender, misalnya berbagai kegiatan life skills, latihan dasar kepemimpinan, dan aktivitas sosial lain yang dapat membantu pelajar laki-laki maupun perempuan saling menghargai sebagai sesama manusia

”Dalam materi pembelajaran, guru harus menghindari contoh-contoh yang bias gender,” pungkasnya. (rzl)