INDONESIA masuk lima besar negara paling mahal biaya politiknya di dunia. Amerika Serikat (AS) di ranking teratas, disusul India. Namun, apakah besaran political costs (Indonesia) telah menghasilkan kualitas pemilu yang baik, mutu demokrasi dan kadar kehidupan politik yang ideal setelah pemilu ?
Pemilu 2020 di AS dikabarkan menelan biaya US$14 miliar atau Rp198 triliun (asumsi Rp14.000/USD). Sedangkan Pemilu India 2019 mencapai US$8,7 miliar (Rp121 triliun). Di Indonesia, kabarnya pengajuan biaya pemilu 2024 sebesar Rp86 triliun, namun pemerintah menyetujui Rp76,6 triliun. Ini baru biaya resmi yang dialokasikan pemerintah dari APBN. Belum termasuk biaya yang dikeluarkan oleh tim pemenangan masing – masing calon pada pilpres, pilkada (provinsi/kab/kota) dan pileg (DPR RI, DPRD, DPD). Mungkin total nilainya lebih besar dari negara yang jumlah penduduknya jauh lebih banyak dari Indonesia.
Selain itu, lembaga terkait pemilu di Indonesia terlalu banyak, sehingga tidak efektif dan tidak efisien. Ada KPU/KPUD, ada Bawaslu/Bawasluda dan DKPP. Di luar negeri tidak lazim adanya lembaga definitif semacam Bawaslu dan lembaga etik seperti DKPP. Kalau pun ada hanya bersifat ad-hoc. Belum lagi masih maraknya praktek transaksi politik, membeli suara oleh para calon. Sehingga menjadikan waktu dan biaya pesta demokrasi jauh dari efisien.
Berapa biaya Pilpres yang dikeluarkan oleh tim pemenangan masing – masing calon. LSI (Lingkaran Survei Indonesia) pernah menyatakan, jika bekal Capres & Cawapres hanya Rp1 triliun, langkahnya bakal keteter. Sebab selain biaya rekom partai, juga ada biaya kampanye, bayar saksi, tim sukses, bilboard, baliho, pamflet, kaos, iklan, survei, biaya konsultan pemenangan, dan biaya lainnya. Bahkan berkembang rumor, bisa di atas Rp5 triliun.
Sedangkan biaya yang dikeluargan caleg DPR RI diduga mencapai Rp5 – Rp15 miliar per orang. Pada Pemilu 2019, terdapat 7.968 caleg yang bertarung berebut 575 kursi DPR RI. Angka itu belum menghitung biaya yang dikeluarkan oleh 370 caleg DPD RI (Dewan Perwakilan Daerah) untuk berebut 148 kursi DPD RI. Artinya duit pesta demokrasi yang dikeluarkan oleh caleg jadi (DPR dan DPD RI) di Senayan, maupun biaya oleh caleg tidak jadi, dengan asumsi @Rp 5 miliar saja, total nilainya sudah mencapai Rp40 triliunan. Dahsyat.
Lantas berapa biaya politik untuk kursi DPRD (daerah). Coba kita hitung. Jumlah kursi DPRD (provinsi, kab/kota) se - Indonesia 19.817 kursi. Taruhlah biaya caleg rata-rata @Rp2 miliar, maka terakumulasi nilai sekitar Rp39,6 triliun. Itu baru biaya oleh caleg yang menang dapat kursi, belum termasuk biaya oleh caleg yang kalah, yang total nilainya tentu jauh lebih besar.
Pada Pilkada, biaya yang dikeluarkan untuk Pilgub, menurut banyak penelitian, minimal Rp100 miliar/calon. Sedangkan untuk Pilbup/Pilwali biaya minimalnya sekitar Rp30 – 50 miliar/calon. Perlu diketahui kini tercatat 514 kabupaten/kota se-Indonesia dan 37 provinsi. Para calon di Pilkada juga harus membayar rekom partai, bayar saksi, tim sukses, kampanye, alat peraga, konsultan, survei, dll, termasuk membeli suara dengan segala bentuknya. Sehingga total biaya politik nasional di segala lini, sangatlah besar.
Pertanyaannya, apakah dana politik sebesar itu telah menghasilkan pemimpin atau legislatif yang baik, mengingat proses rekrutment para calon di tingkat partai telah tersistem secara kurang baik. Fungsi parpol sebagai sarana rekrutmen dan kontrol politik masih jauh api dari panggang. Cenderung ke arah pragmatisme. Rivalitas antar kader di internal partai dalam kontek pen-dapil-an sangat tajam. Juga masih banyak kader partai ‘lompat pagar’ menghiasi daftar caleg dan calon pemimpin di pemerintahaan.
Hanya ada dua hal yang dipikirkan oleh kepala daerah atau anggota legislatif pasca dirinya terpilih, yakni Pertama: berfikir modal politiknya segera kembali, dan yang Kedua: bagaimana pada pemilu/pilkada berikutnya bisa ikut lagi dan harus menang. Sehingga hampir tidak terpikirkan tentang nasib dan kebutuhan rakyat. Kalau pun harus mengalokasikan untuk rakyat, umumnya masih terkait dengan kepentingan merawat konstituen.
Coba kita berhitung lagi, berapa sebenarnya pendapatan resmi kepala daerah (bupati, walikota, gubernur). Sebandingkah dengan biaya politik yang dikeluarkan. Jika rugi, kenapa banyak sekali yang ingin bertarung di pilkada. Jika jabatan itu menguntungkan, darimana keuntungan itu diperoleh. Jika pejabat kepala daerah ‘memaksakan diri’ agar untung, maka tidak sedikit yang karirnya kemudian berakhir di balik jeruji penjara.
Artinya, sepanjang sistem politik dan biaya demokrasi masih mahal, maka sepanjang itu pula KPK akan dipertahankan keberadaannya. Karena kasus korupsi, kolusi, nepotisme, manipulasi, akan terus berlangsung, sebagai konsekwensi logis dari besarnya modal politik yang dikeluarkan untuk menjadi pejabat maupun legislatif – dalam bungkus pesta demokrasi.
Edukasi, pencegahan dan penindakan oleh lembaga hukum akan menjadi mubazir selama bandrol demokrasi politik masih mahal. Belum lagi kalau di lembaga penegak hukum itu sendiri masih ada oknum yang bisa mengatur tuntutan dan putusan hukum, maka lingkaran setan kemahalan pada sistem demokrasi Indonesia tidak akan pernah ada ujungnya.
Mahalnya biaya politik menjadi sumber utama lahirnya ‘political barriers’ bagi terciptanya kehidupan demokrasi yang madani, yakni peradaban berbangsa yang mengacu kepada nilai – nilai dan martabat (civilized society). Sistem demokrasi kita banyak terdistorsi oleh praktek – praktek yang berlawanan dengan ruh demokrasi itu sendiri. Termasuk memberi peluang bagi siapapun – meski tidak memiliki kapasitas, untuk menjadi pejabat/legislatif sepanjang mampu secara finansial.
Harus diakui, kita sering terjebak seolah kehidupan ini hanyalah soal demokrasi dalam memilih pemimpin (kepala pemerintahan/legislatif). Pemilu dan pilkada seolah segalanya. Bahkan tidak jarang terjadi dikotomi ekstrim di lingkungan masyarakat hanya gegara membela figur calonnya yang maju di panggung politik. Diskusi soal politik dan pemilu jauh lebih besar porsinya dibanding soal – soal penting lainnya.
Masih segar di ingatan kita, betapa terkurasnya energi publik pada riuh-rendahnya kegaduhan bangsa terkait Pilgub DKI 2017. Fenomena Kampret vs Cebong bukti betapa tidak cerdasnya masyarakat menyikapi politik dalam bungkus demokrasi.
Kita lupa bahwa kepala daerah hanyalah ‘nahkoda’ untuk menjalankan kapal besar yang bernama pemerintahan. Artinya, jauh lebih penting sebenarnya kita diskusi soal ‘kualitas kapal’ itu sendiri. Tidak ada artinya punya nahkoda berkualitas jika kualitas kapal pemerintahan (birokrasi & peraturan - perundangan) tidak baik. Apalagi jika seluruh kru kapal dan nahkodanya - ternyata bermental tidak baik. Jika demikian, lantas buat apa ada pemilu dan pilkada. Sekedar mau mengklaim bahwa kita sudah demokrasi ?
Kualitas birokrasi pemerintahan – termasuk di daerah jauh lebih penting disoal ketimbang tenaga kita terkuras hanya untuk ngurusi pemilu dan dukung – medukung figur calon. Reformasi birokrasi urgen dlakukan secara terus – menerus, termasuk mentalitasnya.
Pertanyaannya, mampukah kepala daerah yang dipilih secara demokrasi itu melakukan reformasi birokrasi, sementara dirinya masih berfikir tentang cara mengembalikan besarnya biaya politik yang telah dikeluarkan di Pilkada. Maka yang terjadi (umumnya) adalah saling memanfaatkan peluang. Praktek political connection antara penguasa, birokrasi dan sponsor politik akan terus marak, untuk menghasilkan kebijakan sepihak yang hanya menguntungkan pihak – pihak kepentingan secara sepihak pula.
Fakta yang terjadi sekarang, sebagian kegiatan birokrasi di seluruh lini hanyalah soal bagaimana program dan keputusan yang diambil tidak menyalahi peraturan. Pekerjaannya hanya utak-atik cara mensiasati ketentuan agar aman. Tidak semua demikian, memang. Tapi sudah menjadi rahasia umum bahwa faktanya banyak yang demikian.
Maka itu siapapun pemimpin yang terlahir dari sistem demokrasi saat ini, tidak menjamin lahirnya kualitas pemerintahan yang baik. Lantas buat apa kita riuh rendah menguras energi terlibat super aktif pada percaturan pesta demokrasi? Padahal, sejatinya di balik kata demokrasi itu terkandung harapan besar masyarakakat, yakni terwujudnya kehidupan yang lebih baik, kehidupan yang adil, makmur dan sejahtera. Tapi faktanya kian jauh dari harapan.
Sudah bertahun-tahun sistem demokrasi diterapkan, tetapi faktanya belum bisa menghadirkan tata kelola pemerintahan yang ideal. Demokrasi hanya dimaknai secara teknis – prosedural pada sistem dan tatacara pemilu raya, tapi tidak pada subtansinya secara keseluruhan. Praktek penyalahgunaan kekuasaan dengan memanfaatkan demokrasi bahkan terus marak. Korupsi, kolusi dan nepotisme kian meriah di sana – sini, yang sejatinya bertentangan dengan falsafah demokrasi itu sendiri.
Sistem demokrasi kita terbukti belum mampu menjamin ketaatan pada hukum. Justru sebaliknya, dengan demokrasi mempermudah kelompok kepentingan melakukan politisasi hukum. Antar kekuatan politik bahkan berkolaborasi membangun tembok besar guna menghalang kesempatan pihak lain untuk berkuasa. Hak setiap warga negara yang telah dijamin oleh UU untuk berkesempatan menjadi kepala pemerintahan, misalnya, dihambat oleh ketentuan (political barrier) bernama presidential threshold.
Penghalang politik itu (presidential threshold) tertuang dalam Pasal 222 UU No. 7 TH 2017 tentang Pemilu, yang mensyaratkan pasangan capres dan cawapres harus diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik dengan perolehan kursi paling sedikit 20% dari jumlah kursi DPR. Ketentuan ini mengandung dua poin pelanggaran melawan konstitusi, Pertama: Pasangan capres/cawapres harus diusulkan oleh partai politik. Kedua: Ambang batas minimal 20% dari jumlah kursi DPR.
Syarat harus diusulkan oleh partai politik telah menjadikan parpol sebagai kekuatan yang tanpa batas. Para ‘pihak kepentingan’ cukup ‘berhubungan baik’ dengan petinggi parpol, sebagai pijakan untuk membangun oligarki dengan kepala pemerintahan terpilih yang diusung oleh parpol bersangkutan. Di sisi lain, agar perolehan kursi parpol bisa mencukupi sebagai pengusung 20%, tentu butuh modal besar. Nah, pada konteks dana besar inilah berpeluang terjadinya kolaborasi praktek oligarki untuk mendapatkan keuntungan besar secara sepihak dengan mendistorsi sebagian hak – hak rakyat di lain pihak.
Anehnya, upaya review ke Mahkamah Konstitusi atas ambang batas syarat pencalonan capres/cawapares (presidential threshold) bolak – balik mental. Padahal yang mengajukan gugatan bukan sembarangan pihak. Mantan Panglima TNI Gatot Nurmantyo adalah salah satu yang mengajukan review, tapi MK menolaknya.
Bahkan DPD RI sebagai salah satu institusi negara, turut melayangkan gugatan atas tembok besar penghalang politik bernama presidential threshold itu ke MK, agar ambang batas persyaratan pencapresan menjadi nol persen. Karena jelas, Pasal 222 UU No. 7 TH 2017 bertentangan dengan ketentuan Pasal 6 Ayat (2), 6A Ayat (5), dan 6A Ayat (2) UUD 1945. MK sebagai institusi negara digugat oleh DPD RI yang juga institusi negara, mungkin baru pertama terjadi sepanjang sejarah RI. Tapi hasilnya sama, MK menolak.
Pada gugatannya, DPD RI menuding pesidential threshold membuka peluang lahirnya calon presiden boneka – yang pada hilirnya memungkinkan kompromi-kompromi oligarki dalam mengatur kebijakan dan peraturan perundangan. Selain itu juga dituding telah memangkas hak warga negara untuk memilih calon pemimpin yang lebih kredibel dan punya kapastitas, tapi dihalangi oleh peraturan ambang batas. Rakyat hanya bisa memilih calon pemimpin yang disodorkan oleh parpol.
Artinya, persyaratan ambang batas untuk pemilihan presiden masih akan diterapkan pada Pemilu 2024, meski ketentuan itu tanpa sandaran hukum yang jelas – bahkan telah menabrak ketentuan konstitusi, UUD 1945. Pers juga sudah melakukan kritik keras atas penolakankan MK terhadap review presidential threshold, tapi tetap saja tidak dihiraukan. Lantas, kemana lagi publik akan mengadu.
Reformasi politik yang dipicu peristiwa 1998, faktanya hingga kini belum mampu memberikan kemajuan yang berarti secara demokrasi politik. Bahkan pada case tertentu, prakteknya lebih parah dari masa – masa sebelumnya. Demokrasi politik yang berkembang saat ini adalah demokrasi yang sangat bergantung kepada kekuatan uang. Demokrasi Ala Oligarki.
Para founding fathers bangsa, mungkin dahulu tidak pernah terfikir bahwa suatu saat nanti sistem demokrasi yang dipilihnya berubah wajah menjadi sistem demokrasi yang mata duitan, sistem demokrasi transaksional, atau sistem demokrasi oligraki.
Tapi ingat, jika kita ingin menjaga harkat & martabat di hadapan Ilahi, maka janganlah pernah sedikitpun memaklumkan terjadinya praktek transaksi politik, praktek oligarki dan praktek ilegal lain apapun bentuknya. Dengan sikap ini, minimal masih ada "sisa kebanggaan" pada hidup kita, sebagai waris pada generasi berikutnya. (*)
Oleh Lutfil Hakim
Penulis adalah Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI)
Provinsi Jawa Timur