JATIMPOS.CO/SURABAYA - UNICEF melalui Perwakilan Wilayah Jawa Timur menyerukan agar setelah 730 tahun berdiri, saatnya Surabaya mensejajarkan diri dengan kota layak dan ramah anak dunia. Karenanya, Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya pun memastikan layanan anak terus diperkuat untuk menjadikan Surabaya sebagai kota layak anak.
Hal tersebut sebagaimana disampaikan Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi ketika Resepsi Hari Jadi Kota Surabaya (HJKS) ke-730 di Balai Kota Surabaya, Rabu (31/5/2023).
“Ada layanan anak, shelter dan berbagai pencegahan anak. Pembangunan infrastruktur juga dilakukan berbagai pihak untuk mendukung anak. Termasuk sekolah inklusi yang sekaligus memastikan rasa aman bagi Anak Berkebutuhan Khusus (ABK),” kata Wali Kota Eri Cahyadi.
Tak hanya itu, Wali Kota Eri juga mengungkapkan, jika pada tingkat ujung tombak masyarakat ada program sinau bareng yang dilakukan di tiap Balai RW. Sinau Bareng ini bisa menjadi ruang bagi anak untuk berinteraksi sekaligus belajar. "Program Sinau Bareng dan Ngaji Bareng di Balai RW, juga akan terus digalakkan," jelasnya.
Di kesempatan yang sama, Kepala Perwakilan UNICEF Wilayah Jawa, Tubagus Arie Rukmantara mendorong agar Surabaya yang berkali-kali menjadi Kota Layak Utama, dapat diterima menjadi anggota Child-Friendly City Initiative (CFCI) atau Kota Sahabat Anak tingkat Dunia. “Ini sebagai pertanda bahwa anak-anak, warga dan pemerintah kota-nya akan ‘naik kelas’,” kata Arie di sela Resepsi HJKS.
Sebagai kota kedua terbesar di Indonesia, UNICEF merasa perlu mendukung terus upaya pemerintah dan warga Surabaya dalam meningkatkan kesejahteraan anak-anaknya. Sebagai informasi, pada tahun 2020, sekitar 56 persen dari populasi dunia atau sekitar 4,4 miliar orang tinggal di daerah perkotaan, dimana 1,18 miliar di antaranya adalah anak-anak. Angka tersebut akan meningkat menjadi 70 persen pada pertengahan abad ini atau sekitar tahun 2050-an.
“Maka dari itu, sangat penting Surabaya, sebagai calon anggota CFCI, menunjukkan cara mengantisipasi masa depan perkotaan agar tetap sayang, peduli dan melindungi semua anak-anaknya secara berkelanjutan. Surabaya bukan hanya harus naik kelas dengan menjadi CFCI, tapi nanti harus kerja keras jadi juara kelas!” kata Arie.
Arie mengatakan, kemajuan perlindungan anak di daerah perkotaan akan menjadi kunci dalam mencapai Agenda 2030 untuk Pembangunan Berkelanjutan. UNICEF mengapresiasi upaya revisi Peraturan Daerah Sistem Pelayanan Perlindungan Anak, Surat Edaran Wali Kota tentang Pelibatan Anak dalam Musrenbang di setiap tingkat RW dan Kelurahan, Promosi Desa Ramah Perempuan dan Anak, Peningkatan Kapasitas Forum Anak Surabaya (FAS) dan Organisasi Pelajar Surabaya (Orpes) bahkan pelatihan - pelatihan disiplin positif anti-bullying atau anti perundungan atau penindasan.
“Termasuk, dan terutama pencegahan kekerasan secara daring (online child sexual exploitation and abuse),” kata Arie.
Data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) baru-baru ini merilis laporan Profil Pengguna Internet 2022. Dalam laporan tersebut, APJII mengungkapkan penetrasi internet Indonesia mencapai 77,02 persen pada 2021-2022.
Berdasarkan usia, penetrasi internet tertinggi berada di kelompok usia 13-18 tahun. Hampir seluruhnya (99,16 persen) kelompok usia tersebut terhubung ke internet.
Oleh sebabnya, Arie mengajak semua pihak untuk kolaborasi bersama dalam upaya pencegahan kekerasan anak secara daring. “Bersama kami ingin anak dan Kota Surabaya akan jauh lebih aman. Safer Online dan offline. Lebih terlindungi baik di ranah daring dan luring,” kata Arie.
Sementara itu, Ahli Perlindungan Anak UNICEF, Naning Julianingsih mengingatkan, selain melihat bahwa anak-anak sekarang sudah banyak yang digitally literate atau melek digital. Maka dari itu, perlu diperhatikan ada risiko penggunaan internet di kalangan anak.
“Satu diantara tiga anak atau 29 persen anak mengirimkan informasi pribadi mereka kepada seseorang yang belum pernah mereka temui secara langsung. Kemudian 11 persen anak pernah memutuskan bertemu langsung dengan seseorang yang pertama kali mereka temui secara online. Dan 22 persen anak-anak secara tidak terduga menemukan konten seksual online melalui iklan, media sosial, mesin telusur, dan aplikasi pemesanan,” kata Naning.
Fakta mengejutkan lainnya, Naning menyebut, 500 ribu anak di Indonesia dilaporkan telah mengalami eksploitasi seksual online dan perilaku berbahaya dalam satu tahun terakhir. “Memastikan budaya mengakses Internet memberi anak-anak dan remaja kesempatan tanpa batas untuk mengakses informasi, budaya, komunikasi, dan hiburan yang dapat memicu kreativitas mereka dan memperluas wawasan mereka,” ungkap Naning. (fred)