JATIMPOS.CO/SURABAYA -Industri pers dipandang sebagai sesuatu yang unik. Pasalnya, tak pernah ada gejolak dalam soal pengupahan.
Hal ini mendorong Direktorat Pengupahan Direktorat Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja Kementerian Ketenegakerjaan RI, untuk mengetahui lebih dalam tentang kondisi perusahaan pers di Jawa Timur.
Caranya, dengan melakukan Focus Group Discussion (FGD) Analisis Pengupahan Pada Pekerja Massa Media, yang diselenggarakan di Hotel Cendana Surabaya, Rabu (7/8).
Kasubdit Pengembangan Pengupahan Direktorat Pengupahan Kementerian Ketenagakerjaan, Imelda Savitri yang bertindak sebagai narasumber mengemukakan, selain di Jatim, agenda serupa telah pula dilaksanakan di DKI Jakarta dan Jawa Tengah. Terakhir nanti akan dilanjutkan di Jawa Barat.
Menurut Imelda, analisis pengupahan ini bertujuan untuk mengetahui pengaturan upah di industri media massa. Gunanya, sebagai masukan bagi Direktorat Pengupahan dalam penyusunan sistem pengupahan.
Imelda mempertegas, bahwa tidak maksud dari pihaknya untuk mengintervensi soal pengupahan pada perusahaan mass media. Pihaknya hanya bertindak sebagai safeting jika terjadi perselisihan antara pemilik perusahaan dengan pekerja. Hal itu disampaikan untuk menjawab keraguan para peserta FGD dalam sesi tanya jawab.
Seperti diungkapkan Eko Pamuji, Sekretaris Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Jatim, bahwa kelompok industri media massa atau industri pers sama halnya dengan perusahaan umum lainnya. Konsep Usaha menengah, kecil, dan mikro (UMKM) di industri pers juga berlaku. Karena itu perlakuan terhadap pengupahan pun tak bisa disamakan.
Media-media besar mungkin bisa memenuhi standar upah minimum kabupaten/kota (UMK), atau mungkin lebih besar. Tapi media-media kecil dan mikro, tak mungkin melakukan hal itu.
Di sisi lain, status pekerja pers tidak bisa dikatakan buruh. Sebab, mereka adalah pekerja profesional. Karena itu, skala pengupahan pun tidak bisa mengacu pada standar Direktorat Pengupahan.
Karena itu, Eko yang juga General Manager di Harian Duta Masyarakat berpendapat, dalam hal pengupahan, biarlah antara pemilik media dan pekerjanya bersepekat. Sedangkan pemerintah sebagai regulator cukup sebagai pemerhati.
Dalam sesi tanya-jawab peserta FGD memang terungkap jika persoalan upah di media-media kecil adalah sesuatu yang memang mereka hadapi. Meski hanya mampu memberikan upah kecil, tapi mereka harus tetap hidup.
Ketua Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) Arief Rahman, turut prihatin dengan kondisi perusahaan pers saat ini. Menurutnya di Indonesia ada sebanyak 43.300 media online, tapi hanya 168 yang dikelola secara profesional.
Tidak sedikit diantara media-media online tersebut yang dikelola asal-asalan. Bahkan, ada media yang dikelola seorang diri. "Dia pemrednya, dia juga cari berita, cari iklannya," tutur Arief memberi gambaran.
Tidak heran jika banyak perusahaan pers, termasuk di Jawa Timur, yang tidak lolos verifikasi Dewan Pers. Hal itu dikarenakan tidak layak disebut sebagai perusahaan pers. (yus)