JATIMPOS.CO/TUBAN – Kemelut sengketa tanah pantai semilir di Desa Socorejo, Kecamatan Jenu terus berlanjut. Fakta perkara ini mengingatkan pada drama sinetron yang alur ceritanya menyisakan tanya sehingga menarik menanti episode berikutnya.
Belakangan ini ada tiga penyidik Polda Jatim memeriksa dokumen tanah di Balai Desa Socorejo, pada Kamis (29/9). Pemeriksaan dilakukan tertutup. Hasilnya bagaimana pihak penyidik enggan memberikan komentar. Pastinya kedatangan penyidik ini usai laporan kuasa hukum ahli waris, Frangky D Waruwu, pada 13 September lalu.
Kepada wartawan, Sekretaris Desa Socorejo, Wintayah mengatakan beberapa dokumen diperiksa untuk pencocokan data dari laporan pelapor dengan data yang ada di desa. “Benar tadi. Beberapa dokumen tanah yang menjadi objek sengketa diperiksa dan dicocokan,” ucapnya.
Sementara kuasa hukum ahli waris Hj Sholikah, Frangky D Waruwu mengatakan bahwa pihak penyidik datang untuk memeriksa dan mencocokan dokumen yang ada pada pelapor dan pihak desa.
BACA JUGA : Papan Laporan Polisi Tandai Sengketa Tanah Semilir Belum Padam
Dia menjelaskan, tanah Hj Sholikah diduga dimanfaatkan oleh Pemdes setempat untuk jalan keluar masuk Pantai Semilir. Terdapat lahan parkir dan beberapa kios dibangun tanpa izin pemilik tanah. “Diduga ada tindak pidana pemanfaatan tanah tanpa izin pemilik lahan,” ucapnya.
Saling klaim, Kuasa hukum ahli waris Hj Sholikah, Frangky D Waruwu dan Kepala Desa Socorejo Zubas Arief Rahman Hakim
Selain itu, kata Frangky, Kepala Desa Socorejo Zubas Arief Rahman Hakim dan perangkatnya dinilai mempersulit kliennya untuk mengurus tanah.
Sementara itu Zubas membantah tudingan itu. Dia menjelaskan bahwa tanah sengketa yang berada di timur gapura masuk wisata Pantai Semilir sudah diklaim oleh beberapa pihak dan telah muncul tiga Sertifikat Hak Milik (SHM).
“Sehingga itu yang membuat kami (Pemdes) waktu itu dilema. Satu sisi kami harus menanggapi keluarga alm Hj Sholikah. Di sisi lain ketiga pihak yang memiliki SHM berkonfrontasi ke kami untuk berjalan sesuai aturan yang berlaku,” terangnya.
Sehingga, kata dia, pihaknya tidak mungkin membuat sporadik di atas tanah orang lain. Sedangkan tiga SHM itu muncul pada era Kades sebelumnya, Sufatkur, sekitar tahun 2008-2014.
“Kami waktu itukan juga susah. Ketika sudah sertifikat hak milik, Pak Frangky meminta sporadik. Kami membikin bagaimana?” ucapnya.
Maka dari itu, Zubas mendukung masalah ini masuk ke ranah hukum agar terbuka fakta-fakta dalam persidangan nantinya. “Semilir itu untuk umum bukan untuk kepentingan pribadi saya,” pungkasnya. (min)