JATIMPOS.CO/BONDOWOSO - Ijen Geopark terus memperkuat posisinya dalam jaringan UNESCO Global Geopark melalui pendekatan kolaboratif yang melibatkan berbagai pihak. Salah satu langkah strategis yang diambil adalah program Mapping the Journey, yang berfokus pada pemetaan jalur pendakian di kawasan Kaldera Ijen purba.
Program ini menjadi ajang kolaborasi lintas sektor. menggandeng komunitas lokal, Asosiasi Pendaki Gunung Indonesia (APGI), akademisi dari berbagai universitas, serta institusi pemerintah seperti Pemkab Bondowoso, BBKSDA Jatim, Perhutani, dan PTPN. Upaya ini bentuk tindak lanjut atas rekomendasi UNESCO menjelang revalidasi status pada 2026.
Melalui program ini, Ijen Geopark berupaya memperluas potensi kawasan sebagai destinasi wisata minat khusus yang berbasis pelestarian alam dan pemberdayaan masyarakat.
Sebanyak 22 anak gunung telah dipetakan dalam kegiatan ini. Proses pemetaan mencakup jalur pendakian, aksesibilitas, dan titik-titik strategis yang berpotensi dikembangkan menjadi rute wisata tematik.
Tak hanya mendata jalur, kegiatan ini juga menggali potensi integrasi rute dengan atraksi alam lainnya. Air terjun, geosite, serta lokasi untuk kegiatan seperti paralayang dan bersepeda gunung menjadi bagian dari peta pengembangan kawasan.
Koordinator Harian Ijen Geopark, Tantri Raras Ayuningtyas, menyatakan bahwa keterlibatan masyarakat merupakan kunci utama dari pendekatan yang diambil.
“Kami ingin membuktikan bahwa pelestarian kawasan bisa berjalan berdampingan dengan pengembangan wisata, asalkan berbasis partisipasi masyarakat dan prinsip berkelanjutan," Katanya, Senin (19/05/2025).
Pelibatan komunitas lokal dilakukan sejak tahap awal, mulai dari identifikasi rute hingga pengumpulan informasi lapangan. Ini diharapkan mampu meningkatkan rasa memiliki dan tanggung jawab terhadap kawasan.
Keterlibatan akademisi juga memperkuat akurasi data dan pendekatan ilmiah dalam proses pemetaan. Hal ini menjamin bahwa pengembangan wisata tetap mengacu pada prinsip-prinsip keberlanjutan.
Sementara menurut Pengurus APGI Fathorrohman Hidayat mengatakan bahwa tidak semua wilayah dibuka untuk umum. Beberapa kawasan, seperti Gunung Papak dan Gunung Widodaren, tetap tertutup karena berada dalam zona konservasi yang telah ditetapkan sejak era kolonial dan diperkuat melalui SK Menteri Pertanian tahun 1981.
"Pentingnya kehati-hatian dalam membuka akses pendakian baru, pengembangan tidak boleh mengorbankan konservasi. Ini prinsip yang tidak bisa ditawar," tegasnya.
Zona konservasi seperti Cagar Alam Kawah Ijen Merapi Ungup-Ungup tetap menjadi prioritas perlindungan karena memiliki ekosistem yang sensitif dan nilai ekologis tinggi.
Dengan pendekatan ini, Ijen Geopark tidak hanya mendorong pariwisata, tetapi juga mendidik publik mengenai pentingnya menjaga keseimbangan antara eksplorasi dan pelestarian.
Hasil dari program Mapping the Journey akan digunakan sebagai acuan dalam merancang rute pendakian resmi serta pengembangan infrastruktur pendukung yang ramah lingkungan.
Melalui kolaborasi lintas sektor ini, Ijen Geopark berharap dapat mempertahankan pengakuan dari UNESCO sekaligus menjadikan kawasan ini sebagai contoh pengelolaan geopark berbasis masyarakat yang berkelanjutan. (Eko)