JATIMPOS.CO/KABUPATEN MALANG- Ditangan kelompok ORION dari Praktikum Public Relations 3 (PR3), Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), dan dukungan penuh dari Cafe Sawah, lahirlah sebuah jamuan makan malam yang bukan hanya menyajikan hidangan, tetapi juga menghadirkan kembali suasana khas Malang tempo doeloe.
Itu berlangsung pada Sabtu malam (21/05/2025) di Cafe Sawah di Desa Wisata Pujon Kidul. Suasana berubah rupa, bukan lagi sekadar tempat makan berlatar hamparan padi dan pegunungan, tapi menjadi panggung bagi sebuah peristiwa yang menyatukan rasa, cerita, dan kenangan masa lalu dalam balutan acara bertajuk Wedhangan.
Dari detik pertama tamu tiba, nuansa tradisional sudah terasa. Setiap pengunjung disambut dengan senyum hangat, lalu dikenakan selendang dan udeng sebagai bentuk simbolis bahwa mereka bukan sekadar tamu, melainkan bagian dari cerita yang tengah dirangkai malam itu. Welcome drink berupa asam jawa dingin pun disuguhkan sebagai pembuka, menyegarkan tenggorokan sekaligus membuka pintu nostalgia.
Sebelum benar-benar duduk di meja makan, para pengunjung diajak menyusuri pematang sawah dengan mobil caddy, menikmati panorama senja yang pelan-pelan menua. Di titik tertentu, pertunjukan seni tradisional seperti tari bapang dan pencak silat tampil membaur dengan suasana alam.
Ada pula sesi interaktif seperti meracik wedang rempah sendiri, serta kunjungan ke tenant jajanan pasar yang menghadirkan kudapan lawas seperti dawet, cenil, srawut, hingga kentang urap. Semua dikemas layaknya pasar rakyat zaman dulu, namun dengan sentuhan yang lebih rapi dan tertata.
Ketika malam benar-benar tiba, lampu-lampu dimatikan dan lilin dinyalakan satu per satu, menciptakan suasana hangat yang tak bisa dipalsukan. Diiringi alunan gamelan karawitan yang lembut, sajian makan malam mulai dihidangkan.
Meja-meja kayu sederhana dihiasi bunga dan kain batik, lalu dipenuhi makanan khas yang tak hanya menggoda lidah, tapi juga membangkitkan kenangan akan rumah dan masa kecil.
Ada lumpia, tahu petis, dan tempe menjes sebagai pembuka. Kemudian datang nasi jagung, ikan dan ayam bakar, tempe goreng, dadar jagung, sayur bobor, dan urap-urap sebagai hidangan utama. Pilihan nasi juga beragam, mulai dari nasi putih, nasi empok, hingga nasi jagung yang kini jarang dijumpai di meja makan modern.
Sebagai penutup, disajikan pudding pandan, potongan buah segar, dan tentu saja angsle hangat yang legit dan menenangkan. Minumannya pun konsisten dengan tema: teh manis dan susu jahe hangat, disajikan dalam gelas tanah liat yang memperkuat nuansa tradisional. Peralatan makan yang digunakan pun tidak luput dari perhatian.Semuanya dibuat dari bahan alam seperti bambu, batok kelapa, dan tanah liat, membuat pengalaman makan terasa lebih membumi.
Puncak acara ditandai dengan pertunjukan kembang api yang menghiasi langit Pujon Kidul. Setelahnya, setiap tamu mendapatkan souvenir sederhana sebagai kenang-kenangan. Namun yang paling membekas bukanlah oleh-oleh yang bisa dibawa pulang, melainkan perasaan yang tertinggal. Hangat, akrab, dan penuh makna.
Wedhangan bukan hanya ajang praktek mata kuliah Public Relations, tetapi juga bentuk nyata dari bagaimana generasi muda bisa merawat dan mengenalkan kembali kearifan lokal dengan cara yang menyenangkan.
Tidak ada panggung besar, tidak ada teknologi canggih, tapi justru dalam kesederhanaannya, acara ini berhasil menyentuh sisi emosional siapa pun yang hadir. Karena pada akhirnya, kenangan terbaik tidak selalu datang dari sesuatu yang mewah. Melainkan dari yang tulus, yang akrab, dan yang dekat dengan hati. (Athalia Jasmine)