JATIMPOS.CO/SURABAYA - Sebuah lukisan yang sarat dengan nilai sejarah diperkenalkan kepada publik di Plaza Proklamasi Gedung Graha Wiyata, Universitas 17 Agustus 1945 (Untag), Selasa (6/4/2021). Berdimensi 100 x 130 cm, lukisan tersebut menggambarkan pertemuan bersejarah antara proklamator kemerdekaan Ir Sukarno (Bung Karno) dan seorang petani bernama Marhaen di Cigelereng, Bandung, pada 1923.
Lukisan itu, dilukis oleh pelukis Surabaya bernama Sudiyanto Pandji Wiryo Atmojo atas permintaan dari aktivis kerakyatan senior bernama Yacobus Mayong Padang. Lukisan itu rencananya bakal dipasang di Institut Marhaen di Bandung yang diinisiasi oleh Yacobus Mayong Padang.
Pada peresmian lukisan tersebut, hadir pula Ketua Dewan Pembina Yayasan Pendidikan Tujuh Belas Agustus (YPTA) 1945, Bambang DH, Ketua DPRD Surabaya Adi Sutarwijono, Rektor Untag Surabaya Mulyanto Nugroho, dan Nuniek Silalahi yang menjembatani lahirnya lukisan tersebut.
Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi mengungkapkan rasa bangga dan bahagianya dapat menyaksikan proses pembuatan lukisan itu melalui seuplik dokumentasi video yang disaksikan secara bersama-sama. Selain itu dia memaparkan, lukisan yang mengandung nilai sejarah itu diciptakan oleh pelukis asal Surabaya, Sudiyanto Pandji W yang dikerjakan mulai April - November 2020.
”Ini adalah kehormatan untuk Surabaya, dan semakin meneguhkan kami sebagai dapur nasionalisme, karena di kota ini Bung Karno lahir, tumbuh hingga remaja, mendapat gemblengan pemikiran dan bersentuhan dengan dinamika rakyat,” kata Wali Kota Eri Cahyadi.
Wali Kota Eri Cahyadi mengatakan, Bung Karno adalah sosok pemimpin yang jiwanya dipenuhi keikhlasan. Tak ada satu pun motif pemikiran dan perjuangan Bung Karno kecuali hanya untuk membebaskan rakyat kecil dari penderitaan akibat penjajahan.”Jiwanya beliau yang tulus ikhlas itu semoga selalu menurun kepada jiwa warga Surabaya,” urainya.
Selain itu, dia memastikan lukisan yang menggambarkan pertemuan Bung Karno dan Marhaen tersebut membawa imajinasinya hingga puluhan tahun silam. Dia membayangkan, Bung Karno ketika itu bersepeda keliling desa hingga bertemu Marhaen. Di tengah terik matahari, di tengah sawah, terjadilah dialog di antara keduanya, yang menjadi inspirasi bagi Bung Karno untuk memberi nama Marhaenisme pada pemikiran politiknya.
”Saya membaca kisahnya di otobiografi Bung Karno. Salah satu kisah yang paling saya ingat. Dari itu pula selalu menjadi pengingat saya untuk tidak pernah ingkar janji kepada rakyat kecil,” papar dia.
Di samping itu, orang nomor satu di Kota Pahlawan ini mencontohkan kisah Marhaen tak lain sebagai representasi rakyat kecil saat ini. Oleh sebab itu, Cak Eri sapaan lekatnya akan terus memperjuangkan hak-hak warga demi kesejahteraan bersama. Mulai dari memberikan pelayanan terbaik, melanjutkan program permakanan, berobat gratis, sekolah gratis dan sebagainya.
“Pemikiran Bung Karno harus dibumikan di Surabaya. Semua itu tidak membuat kami berpuas diri, karena Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya masih dan akan terus berinovasi untuk membahagiakan warganya,” urainya.
Sementara itu, Yacobus Mayong Padang mengungkapkan sejarah Indonesia terurai sangat panjang. Kemerdekaan diperingati setiap 17 Agustus 1945. Namun, ada satu momen yang sangat penting dalam perjalanan menuju kemerdekaan, yaitu momen ketika Bung Karno bertemu Marhaen (Mang Aen) di tengah sawah di Cigereleng, Bandung, pada 1923.
”Dialog dengan Pak Marhaen itulah yang menyadarkan Bung Karno sebagai kaum terpelajar, betapa menderitanya rakyat ketika itu. Saat itu juga, Bung Karno bertekad bahwa Indonesia harus merdeka untuk membebaskan rakyat yang menderita,” pungkasnya. (*).