JATIMPOS.CO/SURABAYA – Panitia Khusus (Pansus) Raperda Hunian yang Layak DPRD Surabaya menggelar rapat lanjutan pada Kamis (6/3/2025) siang, untuk mendengar masukan dari Organisasi Perangkat Daerah (OPD) terkait serta memperkuat isu-isu yang akan dimasukkan dalam raperda ini.

Rapat ini dipimpin oleh Ketua Pansus, Muhammad Saifuddin, dan dihadiri sejumlah OPD, termasuk Bakesbalitbang, Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman serta Pertanahan (DPRKPP), serta Bagian Hukum dan Kerjasama Pemkot Surabaya.

Muhammad Saifuddin menuturkan bahwa Surabaya sudah tidak melanjutkan program Rusunawa atau rumah susun sewa. Selain pembangunannya berbiaya tinggi juga biaya operasional dan perawatan juga tinggi.

“Jelas tidak mungkin membangun Rusunawa. Yang masuk akal adalah Rusunami dengan skema terbaik. Yang bangun swasta dengan cicilan ringan,” kata Saefudin kepada pers seusai rapat (6/3/2025).

Menurut politisi Partai Demokrat ini, lahan milik Pemkot dan hunian vertikal itu dibangunkan oleh pengembang swasta. Nantinya warga Surabaya dengan kriteria tertentu berhak atas kepemilikan Rusunami tersebut. “Salah satunya dengan tanpa uang muka dan durasi cicilan lebih lama,” imbuhnya.

Dalam rapat, Rio Pattiselano, anggota Pansus dari Fraksi PSI, menyoroti antrean panjang masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) yang membutuhkan hunian. Saat ini, terdapat 14 ribu keluarga yang menunggu giliran mendapatkan hunian.

“Pembangunan rusun lima lantai tidak akan cukup untuk mengejar target tersebut. Sebagai solusi, ia mengusulkan agar pembangunan dilakukan dengan lebih tinggi, seperti 20 lantai, agar antrean bisa teratasi lebih cepat”, kata Rio dalam rapat.

Menanggapi hal ini, Kepala DPRKPP Surabaya, Lilik Arijanto, menyampaikan bahwa membebankan MBR untuk membeli rusunami seharga Rp300 juta bukanlah solusi yang masuk akal.

Ia menegaskan bahwa pemerintah harus mengambil peran aktif dalam menyediakan hunian yang layak tanpa memberatkan masyarakat berpenghasilan rendah.

“Tujuan utama pembangunan rusunami adalah sebagai solusi bagi penghuni rumah susun sewa (rusunawa) agar bisa meningkatkan taraf ekonomi mereka. Banyak warga yang sudah puluhan tahun tinggal di rusunawa tanpa adanya perubahan ekonomi yang signifikan. Oleh karena itu, pemerintah perlu memberikan intervensi nyata, seperti penyediaan lapangan pekerjaan yang diutamakan bagi mereka”, kata Lilik.

Lilik menambahkan bahwa kebijakan perumahan bagi MBR tidak boleh sebatas penyediaan tempat tinggal. Pemerintah harus berperan dalam meningkatkan kesejahteraan ekonomi agar warga mampu beralih dari rusunawa ke hunian yang lebih permanen.

Hasil rapat Pansus mencatat bahwa solusi hunian bagi MBR harus lebih dari sekadar penyediaan tempat tinggal, tetapi juga harus mencakup upaya peningkatan kesejahteraan ekonomi mereka. Dengan antrian 14 ribu keluarga, wacana pembangunan rusunami sebagai alternatif semakin mengemuka, Pemerintah Kota juga diharapkan tidak hanya membangun fisik hunian, tetapi juga memberikan intervensi nyata seperti penyediaan lapangan pekerjaan agar ekonomi MBR dapat naik kelas, mampu memiliki hunian secara mandiri. (fred)