JATIMPOS.CO/JOMBANG - Buku Kamus Sejarah Indonsia yang diterbitkan Kementerian Pendidikan Kebudayaan banya mendapat protes dari berbagai kalangan. Penyebabnya, sejumlah tokoh penting seperti KH Hasyim Asy'ari tidak masuk dalam buku tersebut. Sebaliknya, masuknya sejumlah tokoh PKI disinyalir sebagai upaya penyusupan oknum ASN atau pejabat publik yang berpaham radikal kiri.
Cucu KH Hasyim Asy'ari, M Irfan Yusuf Hasyim mengatakan mencuatnya buku Kamus Sejarah Indonesia yang meniadakan sejumlah tokoh penting pergerakan kemerdekaan Indonesia harus dilihat secara serius karena bukan lagi perkara teknis.
"Mencuatnya buku Kamus Sejarah Indonesia dengan berbagai kontroversi di dalamnya bebarengan dengan terbitnya PP No 57 Tahun 2021 tentang Standard Nasional Pendidikan (SNP) yang meniadakan pendidikan Pancasila dalam pendidikan nasional. Ini masalah substansial, bukan lagi urusan teknis," ujar Gus Irfan, demikian ia kerap disapa, di Jombang, Kamis (22/4/2021).
Lebih lanjut putera KH Yusuf Hasyim ini menuturkan dua masalah yang belakangan mencuat itu harus dilihat secara komprehensif atas potensi masuknya ASN atau pejabat publik yang berpaham radikal kiri dalam tubuh pemerintahan. "Selama ini pemerintah fokus pada ASN atau pejabat publik yang berpaham radikal kanan. Melihat dua kasus tersebut, kami mendorong pemerintah juga fokus kepada ASN atau pejabat publik yang berpaham radikal kiri yang masuk di pemerintahan," tegas Gus Irfan.
Menurut dia, paham radikal kanan dan paham radikal kiri sama-sama membahayakan keutuhan NKRI. Sejarah perjalanan bangsa Indonesia, sambung Gus Irfan, telah membuktikan tentang bahayanya dua paham ekstrem tersebut. "NKRI dibangun dengan landasan sikap moderat (tawasuth), tidak ke kanan juga tidak ke kiri. Radikal kanan dan kiri sama-sama kontra NKRI," tegas Gus Irfan.
Gus Irfan mendorong Kementerian PAN RB untuk melakukan pengawasan terhadap ASN atau pejabat publik yang diindikasikan berpaham radikal kiri dengan berpegang pada SKB 11 Menteri/Kepala Lembaga tentang Penanganan Radikalisme dalam Rangka Penguatan Wawasan Kebangsaan Pada Aparatur Sipil Negara (ASN) yang diteken pada November Tahun 2019.
"Instrumen hukumnya sudah ada yakni SKB 11 Menteri/Kepala Lembaga, Kementerian PAN RB harus telusuri juga ASN/Pejabat publik yang berpaham radikal kiri. Kasus Buku Kamus Bahasa Indonesia dan PP No 57 Tahun 2021 menjadi indikator awal untuk menelurusi lebih lanjut. Inspektorat Jenderal Kemdikbud dapat segera melakukan audit di internal siapa yang melakukan kesalahan ini," sebut Gus Irfan.
Menurut dia, pemerintah harus melakukan tindakan nyata atas masalah yang muncul belakangan ini. Penghilangan mata kuliah Pancasila sebagaimana dalam Pasal 40 ayat (3) PP No 57 Tahun 2021 dalam kurikulum wajib di perguruan tinggi harus diihat lebih mendalam tidak sekadar kesalahan teknis. Begitu juga penghilangan nama KH Hasyim Asy'ari dalam buku Kamus Sejarah Indonesia.
"Kami akan dahulukan tabayun dengan pihak Kemendikbud. Namun, pemerintah harus waspada atas masuknya ASN atau pejabat publik yang berpaham radikal kiri di tubuh pemerintahan," cetus Gus Irfan. (her)