JATIMPOS.CO/SAMPANG - Kabid Penataan dan Kerjasama Desa, Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa (DPMD) Moh. Rasul berharap peran aktif organisasi masyarakat, seperti Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Pers hingga Aparat Penegak Hukum (APH) untuk memantau realisasi penggunaan Dana Desa (DD) se-kabupaten Sampang.
Hal ini ditegaskan Moh. Rasul bukan tanpa alasan. Menurutnya, selama adanya Dana Desa sejak tahun 2015, seringkali menuai polemik di berbagai desa.
Mulai administrasi, penyimpangan dari Rencana Anggaran Belanja (RAB), hingga ditengarai adanya indikasi dugaan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN).
Meski saat ini hampir 90% aparatur desa bisa mandiri dalam laporan Administrasinya, faktanya ada saja sejumlah desa bermasalah dalam laporannya, baik keterlambatan hingga tidak sesuai pelaksanaannya, yang mana selalu ada perbaikan.
Rasul menjelaskan, pihaknya selaku Dinas Teknis dalam Pemberdayaan Masyarakat Desa, hanya sebatas merekomendasikan pencairan DD yang di ajukan setiap Desa. Dengan dasar kelengkapan berkas administrasi berupa RAB, Gambar dan sebagainya.
Sementara untuk kendali seutuhnya ditangan pihak Kecamatan, yaitu dalam Monitoring, Evaluasi dan Pengawasannya.
Sedangkan pihak Inspektorat sebagai auditorium, itupun kalau ada laporan atau temuan masalah. Selebihnya tergantung Desa dan Kecamatan yang perlu di pantau Pihak ormas LSM, Pers sebagai tugas pokok dan fungsi kontrol terhadap kinerja Pemerintah.
Bahkan perlu peran APH, agar pelaksanaan realisasi DD yang rawan menyimpang atau sering bermasalah bisa lebih waspada dan sesuai RAB.
Sebagaimana kasus sebelumnya, DD rawan bermasalah di antaranya indikasi fiktif, tumpang tindih dengan proyek Pokmas, tidak sesuai RAB hingga sebatas kepentingan perorangan atau kelompok warga tertentu saja.
Untuk diketahui, Dana Desa (DD) merupakan salah satu pendapatan desa terbesar yang bersumber dari APBN dan disalurkan ke rekening kas desa melalui rekening kas daerah dan digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, pembinaan kemasyarakatan, dan pemberdayaan masyarakat desa.
Mengingat Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 60 Tahun 2014 tentang Dana Desa yang Bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, serta Peraturan Menteri Desa dan Peraturan Menteri Keuangan mengatur lebih lanjut mengenai penganggaran, penyaluran, pemanfaatan hingga pertanggungjawaban pelaporan Dana Desa.
Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat jumlah kasus korupsi di tingkat desa paling besar di sepanjang 2023. Menurut ICW, selama 2023 terdapat 187 kasus korupsi di desa. Dari temuan mereka, aksi korupsi terbesar selain sektor pedesaan adalah pemerintahan (108 kasus), utilitas (103 kasus), dan perbankan (65 kasus), dari 75.265 desa di seluruh Indonesia. (dir).